Chapter 5

2 1 0
                                    

Suasana sore ini cukup panas, padahal matahari sudah merangkah menuju ufuk barat, bersiap untuk tidur sejenak. Ditambah lagi polusi yang sedang berterbangan di udara kala kemacetan terjadi, rasanya seperti terpanggang di dalam oven dengan suhu tinggi.

Genta dan pakleknya sedari tadi tidak henti-hentinya merapalkan doa agar jalanan kembali lancar, tapi nyatanya tidak. Di depan sana sebuah truk tanpa sengaja menabrak pembatas jalan dan beberapa kendaraan lain di hadapannya, karena evakuasi yang panjang akhirnya jalanan dilanda kemacetan seperti sekarang.

“Ibumu udah nelpon lagi?” tanya Pak Lek Parji sambil mengibaskan kotak bekas jajanan, bekal yang di bawanya dari sisa makanan acara hajatan kemarin.

“Dari tadi Pak Lek. Misscall udah 20 kali, telpon udah 15 kali. Nggak sabarnya kebangetan,” keluh Genta sambil menunjukkan layar ponselnya.

“Yowes gitu ibumu. Kalo udah kerja di Arab mana bisa dia nunggu-nunggu. Di sana itu disiplin, ibumu keikutan.”

“Ya bagus, Lek. Disiplin ya disiplin, tapi ya jangan sampek kayak gitu. Grisinen lama-lama  Lek.”

“Sabar. Kamu baru jemput di bandara aja udah ngeluh. Rasain nanti kalo udah di rumah.”

Genta hanya menatap datar Pak leknya. Ucapan yang lolos dengan begitu mudahnya dari mulut sang Pak Lek itu seakan-akan mengisyaratkan kalau dia akan mengalami penderitaan yang sebenar-benarnya penderitaan.

*****
Jam sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Suasana di luar kamar Genta begitu gaduh, hingga sang empu kamar menutupi kepalanya dengan bantal agar tidak lagi terganggu tidurnya. Perlahan terdengar suara langkah kaki mendekati kamarnya, Genta semakin mengeratkan pegangannya pada bantal.

“Le... Bangun. Ayo tangi! Udah siang mataharinya udah naik kok ya masih nglepus wae. Gimana mau dapat jodoh kalo jam segini masih molor! Tangi, Le!” perintah sang Ibu-Lastri sambil menggedor-gedor kamar Genta, membuat sang empu kamar mengerang kesal. Lalu bangun dengan malas.

“Ngapain sih, Bu? Pagi-pagi teriak-teriak di pintu kamarku. Bahas-bahas jodoh segala,” ujar Genta sambil menggaruk perutnya dan sesekali menguap dengan mata yang setengah terbuka.

Lastri menggeleng pelan, jadi seperti ini anaknya ketika dia tinggal bekerja di Arab. Pantas saja dia tidak jua menikah. Sedetik kemudian centong kayu yang berada di tangan Lastri mendarat dengan mulus di dahi Genta, membuatnya terkaget sambil mengaduh.

“Apa sih, Bu? Ngapain nggetok dahiku pakek centong?!”

“Pantesan kamu jadi perjaka kadaluwarsa, jam segini masih enak-enakan tidur. Gimana kamu mau dapat jodoh kalo bangunmu lebih siang dari Hellen!”

Dahi Genta mengeryit, Hellen? Siapa lagi itu? Tetangga baru kah?, batin Genta.

“Hellen siapa lagi to, Bu?”

“Hellen, kambingnya bapakmu yang dibeli kemaren sore di Pasar Klewer. Masa kalah sama kambing. Kambing subuh udah teriak-teriak minta dikasih makan, la kamu? Bukannya bangun malah tambah di nyenyakin tidurnya.”

Genta tersenyum kecut, benar ternyata kata Lek Parji. Mungkin dia akan mendengar omelan panjang dari Lastri setiap harinya nanti. Hari-hari santainya sudah habis. Genta berdecak lalu menutup pintunya dengan kesal. Lastri yang terkejut pun kemudian memukulkan centong kayunya ke pintu.

“Bocah ndableg! Di nasehatin malah nutup pintu. Cepet keluar, Le! Kamu nggak bisa lagi tidur siang mulai sekarang. Tugasmu masih banyak!”

Omelan Lastri lagi-lagi tidak diindahkan Genta dengan lapang dada. Di dalam kamarnya Genta mengerang keras. Dia bukannya tidak senang kalo orang tuanya pulang dari Arab. Akan tetapi, kalau setiap hari ibunya jadi otoriter begitu, bisa-bisa Genta mati kurus di buatnya.

ArunaSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang