Pagi ini, tepatnya pukul 04.30 subuh. Kediaman warga sudah ramai dengan suara berbagai macam perabot rumah yang berdenting dan kepulan asap dari beberapa rumah yang masih menggunakan tungku untuk memasak. Tanpa terkecuali Lastri, yang saat ini tengah sibuk menanak nasi di tungku dan merajang beberapa sayuran untuk lauk keluarganya hari ini.
Suara sandal jepit bergesek dengan tanah terdengar begitu keras berjalan ke arah dapur. Lastri tidak menghiraukan itu karena fokusnya masih pada sayuran di hadapannya dan api tungku yang kerap kali apinya padam meskipun susah diberi banyak amunisi.
“Masak, Bukne.” Lastri berjengit dan hampir saja mengiris jari telunjuk di tangan kirinya. Lastri menengok ke sebelah kanan belakangnya. Matanya melebar dan alisnya terangkat sebelah. Tumben-tumbenan anaknya ini bangjn subuh lebih awal.
Biasanya, anak semata wayangnya itu akan bangun subuh sedikit pagi kemudian kembali tidur sampi jam yang tidak ditentukan.
“Tumben bangun jam segini, kesambet opo koe le?” Genta yang tadinya menguap langsung membungkam mulutnya kemudian menggaruk-garuk rambutnya yang memang selalu terasa gatal saat bangun subuh.
“Anakmu ini perasaan salah terus. Bangun e kesiangan di marahi. Begitu bangun pagi di paidoni. Terus Genta kudu kepiye?” tanya Genta dengan sedikit mendramatisir. Didukung dengan ekspresi dan aktingnya yang sudah terlihat seperti artis nomor wahid.
“Bukan gitu, Le. Bukne heran wae, biasanya kan kamu bangun isuk-isuk kalo nggak karena ada acara ya ada maunya. Terus ini bangun pagi banget dalam rangka apa?”
“Mbuh, Bukne. Genta mau wudhu sekalian bermunajat biar Bukne nggak kena dosa udah nyinyirin anaknya bangun sholat subuh,” lirih Genta sambil berjalan menggaruk-garuk perutnya menuju kamar mandi yang sudah di hadiahi pelototan tajam dari Lastri.
“Dasar gemblung!” geram Lastri sambil melempar kayu kecil yang sayangnya terkena angin. Pandangan Lastri melengos kembali menatap sayuran di hadapannya dan melanjutkan agedanya.
Waktu begitu cepat berlalu dari petang menjadi pagi dan segala macam hidangan sudah tertata rapi di meja makan keluarga Lastri dan Parman. Lastri sedang sibuk menyiapkan minum di atas meja dan Genta, jangan ditanya lagi apa yang sedang dilakukan oleh laki-laki yang satu itu.
Sejak subuh hingga kini dia begitu sibuk mempersiapkan diri. Memilih baju yang mana sekiranya pas untuk dia gunakan. Memilih wangi parfum yang seperti apa dan bagaimana dia harus menata rambutnya yang mulai menjambul keatas. Senyumnya tidak pudar bahkan sudah hampir ratusan kali dia mengaca dalam waktu 2 jam terakhir.
Lastri yang merasa tatanan makanannya sudah siap, kemudian menepuk tangannya dan berjalan ke arah dapur, melepaskan celemek yang ia kenakan dan mengumpulkan amunisi oksigen untuknya karena setelah ini dia akan....
“Genta! Le! Ayo sini! Makanannya wes siap!” teriak Lastri sambil berjalan kembali menuju meja makan.
Lastri yang baru duduk di meja makan seketika mengendus-enduskan hidungnya karena mencium bau wangi dari parfum yang asing di hidungnya. Begitu wangi dan dia masih berfikir sambil mengendus-endus seluruh meja makan. Wangi parfum e sopo yo iki? Makananku nggak ketumpahan parfum to iki? Tanya Lastri dalam hati.Pandangannya perlahan mengarah ke sebelah kirinya karena mendadak wangi parfum itu begitu dekat dan menyengat di hidungnya. Saat pandangannya sudah menoleh sempurnya, Lastri mengernyit melihat penampakan anaknya yang sudah terlihat rapi, gagah, perkasa, dan tampan di waktu sepagi ini.
“Kamu kesurupan jin opo to Le? Kok aneh banget udah rapi-rapi?” Genta tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya yang tertata rapi dan berwarna putih-putih sekali karena tak tersentuh oleh batang rokok dan juga kopi secara berlebihan.
![](https://img.wattpad.com/cover/231648572-288-k553117.jpg)