Runa kini masih berdiri dengan segala ketakjubpannya. Seumur-umur, baru kali ini dia bisa melihat jingga dari senja yang berlangsung selama 1 jam itu dengan jelas dan begitu indahnya. Saking takjubnya, dia tidak menghiraukan saat Tara menanyakan minuman apa yang dia inginkan.
Sementara Tara, masih was-was dengan apa yang dia tengah rencanakan. Sebuah obat berbentuk serbuk sudah dia keluarkan dari kapsulnya dan sudah siap untuk dicampur dengan minuman yang akan dia berikan pada Runa.
Serbuk apa itu, dia tidak tahu dengan jelas nama merknya. Yang dia tahu jika serbuk itu bisa membuat siapa saja yang meminumnya akan merasa pusing lalu pingsan hingga durasi waktu yang tidak di tentukan.
Tara kembali menghela nafas dalam, tindakan yang sebentar lagi akan dia lakukan ini memberi resiko cukup besar dalam hidupnya. Sisi baik dan jahatnya kini bertarung keras, mencoba mengingatkan dan juga menjerumuskan dirinya.
Satu sisi, dia tidak ingin melakukan ini. Jujur saja dia sudah begitu nyaman dengan mengenal Runa. Gadis yang tidak neko-neko di sekolahnya. Namun, di sisi yang lain, dia juga membutuhkan uang sebesar 1 Milyar dari taruhan itu. Tara memejamkan mata sejenak, meyakinkan dirinya seyakin-yakinnya untuk melakukan ini.
Tara sudah bersiap menuangkan serbuk itu, perlahan cup kecil berbentuk kerucut di tangan kanannya mulai mendekati lubang botol minuman itu. Sialnya, sedikit lagi serbuk itu akan tertuang malah terjatuh karena seorang anak dengan tiba-tiba menyenggol lengannya saat berlari berlawanan arah denganya.
Rasa gugup Tara berubah dengan sedikit kesal.Serbuk itu tumpah sebagian, menyisakan seperempat komposisi sebelumnya. Tara menghembuskan nafasnya kasar kemudian memasukkan sisa serbuk itu dengan kasar, lalu mengocoknya sambil berjalan menghampiri Runa yang berjarak kurang lebih 50 meter darinya.
“Maaf ya lama. Tadi bingung milih minuman yang mana,” ucap Tara saat sudah berada dekat dengan Runa, sambil membukakan tutup botol tersebut.
“Nggak apa-apa, Kak.” Runa mulai meminum minuman itu dengan pandangan yang tak beralih sedikitpun. Tara hanya menatap Runa, berharap minumannya berhasil atau tidak sama sekali. Dia tengah bingung dengan apa yang akan di lakukannya, tapi dia harus tetap melanjutkan ini semua agar uang itu bisa dia miliki setelah ini. Uang yang dia butuhkan untuk operasi jantung sang Ayah.
“Kak, kok semuanya muter-muter gini?” tanya Runa sambil menunduk sembari memfokuskan pandangannya yang semakin lama juga semakin memburam. Sedangkan Tara hanya diam sambil memegangi Runa yang sebentar lagi akan tumbang.
“Kak—“ Kalimat Runa tidak dapat ia lanjutkan karena kesadarannya sudah tinggal beberapa persen lagi. Kepalanya terasa pening saat ini. Bahkan, kakinya pun terasa sudah tidak lagi menapak di pasir pantai.
*****
Suara gaduh di salah satu bangunan yang sudah cukup reot di banding lainnya itu tidak terdengar seperti biasanya. Salah satu penghuninya pun sesekali keluar menuju teras sambil menatap jalan raya di depannya, berharap cemas sambil tanpa henti mulutnya merapalkan doa, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan.
Kemudian salah satu di antara penghuninya yang lain juga ikut keluar sambil menatap jalanan beraspal yang terasa dingin karena terguyur air hujan yang bergerimis beberapa jam yang lalu.
“Kak Runa belum kelihatan pulang juga, Bu?” tanya Fatma sambil sesekali mengecek benda pipih yang tengah di genggamnya.
“Belum, Fatma. Padahal ini udah maghrib. Nggak biasanya kakakmu itu pulang jam segini. Kamu udah tanya sama Kak Salfira, ‘kan?” taya Bu Rani dengan raut wajahnya yang cemas.
“Udah, Bu. Tadi Fatma udah ngubungin Kak Salfira, tapi katanya dia udah pulang dari jam 2 tadi. Kak Salfira mau ke sini katanya.”
Setelah itu tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Fatma kembali sibuk menelpon sang Kakak, sedangkan Bu Rani hanya bisa merapalkan doa berharap agar tidak terjadi apa-apa dengan putri asuhnya itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/231648572-288-k553117.jpg)