Chapter 7

8 1 0
                                    

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 21.00 malam, tapi keadaan di rumah keluarga Parman masih dipadati oleh banyak kaum adam. Tepat 2 jam yang lalu acara tasyakuran berjalan dengan khidmat. Tidak ada kendala apapun selama acara berlangsung. Acara itu diadakan sebagai ucapan rasa syukur keliarga Parman, karena dirinya dan sang istri-Lastri dapat pulang ke tanah air dengan selamat dan rezeki yang berlimpah.

Kini hanya tinggal beberapa orang yang masih berada di teras rumah Parman. Sekedar bercengkrama karena sekian lama tidak bersua. Sedangkan di dalam rumah, Genta tengah sibuk membersihkan tikar-tikar yang berjejeran di lantai sambil cemberut karena sedari tadi semburan omelan tidak henti keluar dari mulut Lastri untuknya.

Sing niat kalo bebersih itu. Jangan cemberut terus, bersihin bener-bener. Mau kamu dapat pasangan brewokan kalo ndak bersih nantinya?!” Mata Genta membulat sempurna. Ibunya ini kalau marah pasti ada saja yang di slewengkan.

“Bukne kira aku iki gay? Aku iki masih waras, Bukne. Masio aku belum nikah, gara-gara perempuannya belum ada, bukan berarti aku berpindah ke laki-laki.”

“Ya siapa tau, Le. Jujur Bukne juga khawatir, sekarang kan banyak yang gitu. Kamu beneran nggak gitu to?” Genta memutar matanya bosan.

Bisa-bisanya ibunya itu berfikir demikian. Pemikiran yang bahkan tidak pernah terpikirkan sedikitpun dalam otaknya. Genta berjalan melewati Lastri begitu saja. Dia tidak mau berlama-lama di depan Lastri. Pasti sedetik kemudian Lastri akan membicarakan perilah jodoh hingga Genta merasa semakin bosan.

Lastri berkacak pinggang melihat anaknya yang pergi begitu saja. Apa salahnya dia khawatir pada anak semata wayangnya itu. Dia juga takut jika selama dirinya dan Parman di Arab, anaknya terkena pergaulan yang buruk.

Namun, dia bisa bernafas lega dan tak perlu khawatir tentang hal itu lagi, karena nyatanya anaknya itu jauh dari pergaulan bebas. Terbukti dengan dirinya yang masih menjomblo di saat teman-temannya di luar sana sudah menikah atau masih pacaran.

Parman yang baru saja bisa masuk ke dalam rumah karena tetangganya sudah pulang pun heran, melihat Lastri yang berkacak pinggang dengan tatapan yang bingung. Biasanya sang istri akan memajang wajah garang jika sedang seperti itu.

Kenopo, Bukne?”

Lastri yang mendengar suara Parman pun mengalihkan pandangan pada sang suami lalu berdecak setelahnya.

“Bukne sebenernya ono opo? Kok plonga-plongo dari tadi?”

“Apa salah to Pakne kalo Bukne tanya Genta suka sama laki-laki apa ndak?”

Parman menepuk jidatnya keras. Kenapa istrinya menanyakan pertanyaan konyol pada anaknya yang jelas-jelas terlihat sangat-sangat berjiwa laki-laki itu? Jelas saja Genta marah.

“Bukne emang aneh. Anak kita itu normal. Ya jelas dia sukanya sama perempuan.”

“Ya siapa tau to Pakne. Bukne kan takut, nggak tau apa pergaulan jaman sekarang kayak gimana?”

Wedi yo wedi, tapi ya liat-liat anakmu itu. Wes jelas badannya keker kayak  ditemplokin daging qurban gitu kok ya masih mikir begitu.”

Yowes, Pakne mau ke dapur dulu,” potong Parman cepat sebelum istrinya kembali mengucapkan argumen bahwa dirinya masih benar dengan pertanyaan tadi.

Genta sedang sibuk menata hasil cucian piring di atas papan yang terbuat dari bambu yang biasanya di buat nongkrong di pos kamling desanya. Papan bambu alias lincak  itu telah dipenuhi dengan begitu banyak piring yang telah di cuci seluruhnya oleh Genta.

ArunaSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang