Sepanjang koridor menuju kantin, Runa tidak henti-hentinya menyunggingkan senyum manis. Perbincangan yang terkesan menggelikan antara dirinya dan Fatma yang selalu terjaid setiap berangkat sekolah selalu menjadi moodbooster baginya. Terlebih lagi pembawaan Fatma yang kocak membuat rasa bahagia dalam dirinya menyeruak keluar. Membuat dirinya bisa tersenyum manis bahkan hingga akhir jam pelajaran.
Salfira-teman Runa yang melihat Runa senyum-senyum sendiri saat berjalan berlawanan arah dengannya, membuat Salfira mengkerutkan keningnya heran.
“Oii ... Pagi-pagi udah senyum-senyum sendiri. Kesambet rezeki apa nih?” sapa Salfira saat mereka sudah berpapasan lalu berjalan mengikuti Runa.
“Nggak apa-apa, Ra. Emangnya kenapa?”
“Kenapa? Kamu itu kayak abis kesambet tau nggak sepanjang jalan dari halaman sampe ke koridor sini senyum mulu sambil mandangin jajanan yang kamu jual lagi.” Mendengar itu Runa malah tersenyum renyah.
“Nggak apa-apa kok, Ra. Aku lagi bahagia aja sekarang.”
“Bahagia kenapa emangnya? Emang abis kenalan sama cowo mana?” Pandangan Runa langsung beralih tajam menatap mata Salfira. Salfira yang di pandang seperti itu hanya cengegesan sambil bergaya mengangkat tangannya membentuk huruf V.
“Laki-laki aja pikiran kamu itu.”
“Ya kan temen-temen kita sekarang kebanyakan begitu. Mereka tiap berangkat, istirahat ke kantin sama pas pulang senyum begitu gara-gara cowok.” Runa berdecih mendengar itu. Teman karibnya itu tidak memiliki laki-laki yang bisa dibilang dekat dengannya, dia juga tidak sedang dalam masa jomblo karatan, tapi kenapa yang dibahas selalu dikaitkan dengan laki-laki.
“Itu kan mereka, Ra. Aku jelas beda sama merekalah nggak mungkin sama. Lagian juga buat bisa senyum sendiri itu nggak perlu bantuan cowok.”
“Terus tadi kenapa?”
“Aku keinget bercandaan dari adik aku, Fatma. Dari rumah sampe sekolah dia itu ngajak debat mulu, tapi debatnya malah bahas kemana-mana. Selalu dikaitin sama hal yang berbeda jalur.” Runa kembali tertawa mengingat debat mereka saat di jalan tadi.
“Oh kirain. Kamu mah enak bisa bercanda sama saudara. Aku mana bisa gitu.” Salfira tertunduk lesu dan jalannya pun menjadi gontai.
“Sekarang kan ada aku, Ra. Kamu bisa anggep aku sebagai teman kamu. Kamu bisa anggep aku keluarga kamu juga.”
“Hehe ... Iya juga ya. Kenapa aku nggak kepikiran sampe sana. Oh iya aku mau ke perpustakaan sekarang, kamu ikut aku nggak? Atau nitip apa gitu?”
“Hmm ... Nggak deh. Aku udah ambil yang aku perlu di perpustakaan kemarin.”“Oh ya udah kalo gitu. Aku tinggal dulu ya.” Salfira kemudian melangkah pergi meninggalkan Runa setelah mendapat anggukan darinya. Setelah Salfira menghilang dari balik pintu, Runa kembali melanjutkan langkahnya menuju kantin sekolah. Di sana sudah ada Mbak Ira yang tersenyum ramah padanya.
Mbak Ira adalah satu-satunya lapak yang mau menerima orang menumpang berjualan di kantin ini, sikapnya yang ramah, santai, dan pandai bergaul membuat banyak siswa-siswi di sekolah ini menganggap dirinya sudah seperti saudara sendiri. Tidak heran jika lapaknya lebih ramai dibandingkan lapak yang lain.
“Assalamu’alaikum, Mbak,” salam Runa sambil tersenyum seraya meletakkan tas besar di meja utama lalu mengeluarkan isi di dalamnya.
“Wa’alaikumussalam, Na. Tumben agak siangan kamu kesininya?” ucap Mbak Ira tanpa mengalihkan pandangannya yang tengah fokus meneliti setiap inchi kulit sempol yang tengah di gorengnya.
“Ya gitu, Mbak. Kalo di jalan Fatma udah minta debat ya jadinya jalannya lemot tapi ngobrolnya cepet.” Mbak Ira tertawa renyah mendengar jawaban Runa tentang Fatma. Meskipun mereka berbeda kondisi dan oramg tua. Namun, kedekatan Mbak Ira dan Runa tidak hanya terjalin saat di sekolahan saja. Karena setiap acara besar seperti tasyakuran panti, Ibu Rina selalu meminta agar Mbak Ika yang membantunya memasak di dapur.
![](https://img.wattpad.com/cover/231648572-288-k553117.jpg)