Runa masih termenung di bilik kamarnya. Tatapannya masih kosong, mukanya kusut, dan badannya semakin kurus. Bu Rani sudah berusaha untuk mengembalikan keceriaan Runa yang sudah hampir 6 bulan ini terus-terusan seperti mayat hidup.
Dokter yang memeriksa Runa memang mengatakan jika akan butuh waktu yang lama jika Runa sendiri tidak bisa mengikhlaskan semua yang terjadi. Salfira pun tidak bisa terus menerus membantu Bu Rani untuk membujuk Runa dan menghiburnya, karena Salfira sendiri juga disibukkan dengan segala kegiatan organisasi yang harus diselesaikan sebelum Ujian Nasional seminggu kedepan.
Salfira menatap bangunan di hadapanannya, Panti Asuhan “Cahaya Mentari”, tempat yang sudah lama tidak dia singgahi karena kesibukannya dan saat ia kembali saat ini, entah kenapa rasanya semakin sunyi. Memang tidak bisa dipungkiri jika kesedihan Runa menular pada anak panti yang lain. Akan tetapi, jika seperti ini terus, bisa dipastikan kesembuhan Runa akan lebih lama jadinya.
Salfira berjalan masuk ke dalam panti yang sudah seperti rumahnya sendiri selama ini, membuka pintu ruang tv kemudian mengarah menuju meja makan, tempat favorit Bu Rani biasanya termenung memikirkan berbagai masalah. Salfira tersenyum mengingat dia begitu hafal dengan segala kegiatan di panti ini, sedangkan kegiatan di rumahnya saja dia tidak peduli.
“Assalamu’alaikum, Bu.” Salfira berdiri dengan senyumnya yang manis, tapi yak ditanggapi oleh Bu Rani.
“Assalamu’alaikum, Bu Rani. Yang imut yang cantik!”
“Eh i-iya, huh... Ya Allah Salfira. Maaf ya, Nak. Tadi Ibu lagi kepikiran sesuatu.”“Iya nggak apa-apa kok, Bu. Salfira udah hafal bener gimana Ibu.”
“Oh iya, kapan kamu datangnya?”
“Kan, Ibu ngelamunnya kejauhan sih, jadinya nggak tau Salfira udah datang dari tadi. Padahal tadi Fira ngucapin salamnya heboh banget lho, Bu.” Salfira mengerucutkan bibirny berpura-pura kesal.
“Hehe... Maaf tadi Ibu bener-bener nggak denger, Fira. Kamu udah makan belom tadi?”
Senyum Salfira langsung sumingrah mendengar kata makanan terucap dari bibir Bu Rani. Dengan senyumnya yang masih mengembang, Salfira mengangguk cepat lalu berlari menuju dapur untuk makan.
Sedangkan Bu Rani berjalan menuju kamar Runa. Melihat seperti apalagi Runa saat ini. Bu Rani langsung berlari masuk ke dalam kamar saat melihat Runa kembali bertingkah seperti kesetanan.
Menjambak rambutnya sendiri sambil menendang dan menepuk dadanya berkali-kali. Memang sudah tidak ada jeritan keras seperti sebelumnya. Namun, mata Runa begitu memerah karena air mata yang seakan-akan menumpuk hanya bisa keluar sedikit demi sedikit.
“Runa, ini Ibu, Nak. Ini Ibu Rani,Sayang.” Bu rani memeluk erat Runa meskipun sedikit kesusahan karena Runa juga memberontak.
“Sayang ini Ibu, Runa. Ibu ada di sini kamu yang tenang. Kamu aman sama Ibu, Nak.”
Runa masih saja memberontak dan jeritan Runa pun akhirnya tersuara dengan keras.
“Pergi! Pergi kamu! Dasar Bajing***!”
“Ini Ibu, Nak. Ini Ibu Rani, Sayang. Tolong tenang, Nak.”
“Arrgghhhh! Pergiii!”
Bu Rani semakin kesusahan karena Runa semakin menjadi-jadi.
Pandangan Runa pun juga semakin menakutkan menatap sekelilingnya dengan nyalang. Bu Rani pun merasa takut, takut jika Runa berbuat yang tidak-tidak setelah ini.
“Salfira! Sini, Nak! Bantu Ibu bujukin Runa!” teriak Bu Rani pada akhirnya. Dia butuh bantuan Salfira karena sedikit banyak Salfira juga yang bisa menenangkan Runa.
![](https://img.wattpad.com/cover/231648572-288-k553117.jpg)