Aku melangkah gontai meninggalkan ruangan Pak Irwan untuk kembali ke gedung produksi. Rasanya nggak tega harus menyampaikan kabar ini pada yang lain. Sambil menunggu lift, aku mengambil handphone dan mengecek saldo rekeningku.
Tadi aku juga sudah bertanya pada bagian gudang jumlah kerugian yang harus kami tanggung dan jumlah yang tertera di rekeningku masih jauh dari cukup.
Uangku ludes untuk membayar uang muka apartemen studio mungil yang baru beberapa bulan ini kubeli. Tiap bulan separuh gajiku juga tersedot untuk membayar cicilannya, separuhnya lagi untuk biaya hidup. Jadi semenjak mencicil apartemen, aku hampir nggak pernah lagi bisa menabung.
"Need help?" Sebuah suara terdengar di belakangku.
Suara menyebalkan yang membuat telingaku sakit. Cih, siapa yang mau kubohongi? Suaranya terlalu enak didengar, rendah, dalam dan sedikit serak. Penyiar radio kalah. Dan itu membuatnya semakin menyebalkan di mataku.
Kenapa nggak ada hal jelek pada dirinya? Selain sifatnya tentu saja. Setelah kupikir-pikir, ternyata Tuhan memang maha adil, memberi kesempurnaan fisik untuk menutupi sifat jeleknya yang bertumpuk-tumpuk.
Dan apa maksudnya dengan need help? Dia mau meminjamkan uang, begitukah? Well, simpan uangmu bapak Direktur Marketing yang terhormat. Tunggu matahari terbit dari barat, baru aku mau menerima uang darinya.
"Nggak kok, Pak. Semua under control," jawabku sambil berusaha keras mengembangkan senyum.
Nggak ada gunanya menambah masalah baru dengan bersikap sinis, sudah cukup permasalahan untuk hari ini. Lebih baik sekarang segera kembali ke sarangku, tempat aman di mana mataku nggak perlu melihat wajah laki-laki ini.
Pintu lift terbuka, bergegas aku masuk ke dalamnya. Sayang sungguh sayang ternyata laki-laki itu juga ikut masuk membuatku mau nggak mau harus tetap mempertahankan senyum.
Ngapain dia ikut turun padahal kantornya kan di lantai empat?
"Let me guess. Kamu akan menjadi ibu peri dan menanggung semua ganti rugi seorang diri, right?" Suaranya tiba-tiba terdengar lagi.
Okey, jadi dia masih ingin melanjutkan topik yang tadi, topik yang membuatku ingin mencekik lehernya.
"Terserah saya dong, Pak. Ini kan urusan Departemen saya, yang penting ganti ruginya beres," jawabku setenang mungkin.
"Nggak begitu caranya handle masalah, Sher. Kalau memang anak buah kamu salah, harus diberi sanksi. Jadi martir nggak akan membuat kamu sukses dalam karir, dan mereka juga nggak akan belajar," balasnya santai.
Kedua tanganku terkepal semakin erat di kedua sisi tubuhku. Orang ini nggak tahu apa-apa, tapi mengajariku seolah tahu segalanya. Menyebalkan.
Wait, sudah berapa kali otakku menggaungkan kata menyebalkan? Aku menghela napas, mungkin sudah tak terhitung lagi.
Ya ampun, rasanya aku harus mencari kata baru yang lebih kreatif. Annoying? Menjengkelkan? Memuakkan! Yes, itu kata yang paling tepat.
Aku tersenyum, hatiku sedikit lebih ringan setelah menemukan kata-kata baru untuk memaki laki-laki itu di otakku.
Ya, hanya di otakku, mana berani aku memakinya terang-terangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amoxylove (COMPLETED)
ChickLitShera Kinanti, 25 tahun, Manajer Produksi Beta Laktam di sebuah perusahaan farmasi, punya poin-poin yang tidak disukai dari seorang pria. Sayangnya semua poin itu ada di sosok Direktur Marketing yang baru. Sejak hari pertama, Shera sudah alergi ber...