Part 4

126K 15.7K 2.7K
                                    

Hari ini seperti biasa pekerjaan di Departemen Produksi sangat padat. Semua mesin beroperasi dan semua terlihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Aku duduk di meja kerjaku, mempersiapkan dokumen untuk meeting pagi ini. Mataku bengkak karena semalaman menangis, percuma rasanya berharap orang-orang nggak akan menyadarinya.

Hanya bisa berharap semoga semua orang cukup peka dan sungkan untuk bertanya macam-macam.

Aku melangkah ke gedung utama lalu naik ke ruang meeting di lantai empat. Sudah ada Bu Ika Manajer Research & Development dan Pak Arief tengah berbincang di dalam ruang meeting.

"Hai Sher, " sapa Bu Ika saat melihatku.

"Pagi, Bu, Pak," sapaku sambil melangkah mendekat.

"Mata kamu kenapa? Bengkak banget. Abis nangis yaa?" Pertanyaan pertama dari Bu Ika sedetik setelah aku menghempaskan tubuh di sebuah kursi kosong.

Okey, ternyata percuma mengharapkan orang-orang memiliki rasa peka, lebih banyak yang memiliki rasa kepo.

"He he..lagi patah hati, Bu," jawabku dengan nada bercanda walaupun tentu saja itu bukan bercanda.

"Cowok nggak usah ditangisi, Sher. Mungkin bukan jodoh kamu. Memangnya putus kenapa, sih?" Pertanyaan Bu Ika tertahan saat dua sosok terlihat memasuki ruangan.

Mereka berjalan santai sambil berbincang, benar-benar terlihat akrab. Pak Irwan Joesoef dan Bapak Direktur Marketing yang terhormat.

"Hanya kita saja ya untuk meeting kali ini. Jadi gimana Bu Ika perkembangan proses registrasi merek paten untuk Amoxicillin?" Tanya Pak Irwan setelah duduk di kursinya.

Selama ini PT. Medifarm memang hanya memproduksi Amoxicillin generik. Sekarang akan mulai memasuki pasar obat paten Amoxicillin dan akan segera mengajukan registrasi ke BPOM.

"Tinggal namanya yang masih belum fix, Pak. Ini ada beberapa nama yang kami dari Departemen R&D usulkan," ucap Bu Ika sambil membuka berkas-berkasnya lalu menyerahkan selembar kertas ke arah Pak Irwan.

Pak Irwan mengambil kertas itu lalu membaca isinya sambil manggut-manggut.

"Hmm, terlalu kaku ya menurut saya. Harus cari nama yang simple tapi mengena. Yang sekali mendengarnya orang akan langsung ingat, nggak usahlah pakai nama-nama latin yang terlalu klinis," ujarnya sambil meletakkan kertas di atas meja dan nggak meliriknya lagi.

"Jadi ada ide lain?" Tanya Pak Irwan sambil memandang berkeliling ke arah kami semua.

Pak Arief mencetuskan beberapa ide yang juga disambut gelengan Pak Irwan. Aku berusaha menggali pikiran, mencoba mengingat nama-nama paten Amoxicillin yang sudah beredar di pasaran.

Sanbe punya Amoxan, Dexa punya Deximox, Kalbe punya Kalmoxilin. Hmmm, bagaimana kalau Medicillin?

Aku mengutarakan usulku pada Pak Irwan yang juga ditanggapi wajah tak puasnya. Aku menghela napas dan mulai berpikir lagi.

"Amoxylove." Suara berat di hadapanku tiba-tiba terdengar.

Bapak Direktur Marketing yang terhormat bicara dan wajah Pak Irwan langsung berseri-seri.

Aku berusaha keras menahan dengusan, nama macam apa itu? Ini merek obat antibiotik, Pak, bukan merek kondom.

"Perfect," puji Pak Irwan dengan penuh semangat membuatku setengah mati menahan diri agar tak memutar bola mata.

"Nama itu simple dan mudah diingat, kamu memang selalu bisa diandalkan."

Kali ini aku benar-benar memutar bola mata.

Amoxylove (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang