"Biasanya kalo weekend gini kamu nggak pulang ke rumah?" Pak Abhi bertanya saat kami sudah selesai makan dan kini tengah duduk di sofa, aku dengan sekaleng soft drink di tangan sementara dia dengan sebotol air mineral.
Tadi aku menawarkan sebotol bir, tapi dengan santai dia menjawab kalau nggak minum alkohol yang membuatku berdecak tak percaya sementara Pak Abhi hanya tertawa. Bohong banget pasti.
"Hari Minggu biasanya pulang," jawabku sambil meneguk soft drink-ku.
Aku selalu pulang tiap hari Minggu tapi nggak pernah lama, biasanya hanya makan siang selama beberapa jam.
Aku nggak terlalu nyaman ada di rumah karena pembicaraan yang ujung-ujungnya selalu menyudutkan aku karena hubunganku dengan Yudha atau mulai merambah ke area perjodohan dengan pemuda-pemuda dari kalangan yang orang-tuaku anggap layak untuk menjadi pendampingku.
Selama enam bulan belakangan ini nama Pak Abhi yang selalu muncul dalam setiap percakapan makan siang kami. Karena itu aku sangat antipati padanya walaupun sebenarnya dia nggak pernah melakukan apa-apa selain bersikap sopan padaku dan hanya membahas masalah pekerjaan.
"Besok ya, mau saya temani?" Tanyanya membuatku berdecak.
"Nggak usah aneh-aneh deh, Pak. Orang rumah bakal langsung heboh kalo kita datang berdua. Itu sama saja dengan memproklamirkan pernikahan, bisa-bisa Mama saya langsung booking gedung," gerutuku.
Pak Abhi mengangkat alis tebalnya dengan sepasang mata berkilat tak percaya.
"Seriously? Wah, berarti tinggal meyakinkan anaknya aja nih," cetusnya membuatku mendengus.
"Dan itu nggak akan mudah," cibirku.
"But why? Apakah menikah dengan saya begitu buruk di mata kamu?" Tanyanya dengan kening berkerut.
Aku menghela napas berat, berusaha menyusun kata-kata yang tepat untuk menjelaskan padanya apa yang selama ini mengganjal di pikiranku.
"Begini Pak, seumur hidup, saya mencoba membuktikan pada orang tua saya kalo mereka salah. Kalo pernikahan nggak akan bahagia jika hanya diukur dengan kedudukan dan harta." Aku mengawali. Pak Abhi mengangguk mengerti.
"Tapi saat ini saya merasa kalah. Pilihan hati saya ternyata benar bukan laki-laki yang tepat untuk saya. Jadi kalo pada akhirnya saya menerima Bapak, yang adalah pilihan orang tua saya, bukankan itu artinya saya semakin kalah dan membuktikan kalo selama ini mereka yang benar dan saya yang salah?" Sambungku lagi.
"Ra, pernikahan bukanlah masalah menang dan kalah." Ia mengingatkan.
"Saya tahu itu. Saya hanya muak dengan cara mereka mengkotak-kotakkan seseorang berdasarkan status sosial hingga sampai pada titik saya membenci status sosial yang saya punya karena itu membuat saya seakan berbeda dari orang lain," jelasku lagi.
"Karena itu kamu pergi dari rumah dan nggak pernah mau orang tahu kalo kamu putri keluarga Joesoef," simpulnya. Aku mengangguk mantap.
"Saya nggak nyaman ada di tengah-tengah mereka dengan pola pikir mereka yang berbeda dengan saya," ucapku.
"Tapi biar bagaimanapun, mereka tetap orang tuamu, itu kenyataan yang nggak akan pernah bisa kamu ubah. Menerima asal usulmu bukan berarti kamu juga harus mengikuti pola pikir orang-orang yang ada di sekitarmu. Orang tuamu punya prinsip berbeda, let them be, kamu bisa tetap jadi dirimu sendiri walaupun ada di tengah-tengah mereka," nasehatnya.
Aku hanya diam. Nggak semudah itu, berada di tengah-tengah mereka membuatku tertekan. Aku merasa seperti anak yang nggak pernah benar di mata mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amoxylove (COMPLETED)
ChickLitShera Kinanti, 25 tahun, Manajer Produksi Beta Laktam di sebuah perusahaan farmasi, punya poin-poin yang tidak disukai dari seorang pria. Sayangnya semua poin itu ada di sosok Direktur Marketing yang baru. Sejak hari pertama, Shera sudah alergi ber...