Part 9

5.5K 352 1
                                    

Sejak kejadian beberapa hari yang lalu, hubungan Aiman dan Ayahnya seolah terjadi perang dingin bicara seperlunya dan melakukan pembatasan kegiatan. Seperti halnya pagi ini, Aiman terburu-buru untuk berangkat kerja tanpa sempat untuk sarapan.

“Aiman berangkat dulu, Yah.” Pamit Aiman.

“Hari ini tepat 4 tahun bundamu pergi, kamu tidak lupakan?” Peringat Ayahnya dan langkah Aiman terhenti dan membalikkan badannya ke arah Ayahnya.

“Ayah saja yang pergi, Aiman ada meeting.” Dalih Aiman.

Pak Ibrahim mendengus pasrah mendengar penuturan anaknya. Bukankah itu penolakan secara halus? Apa karena cintanya yang stuck Aiman berubah menjadi dingin? Entahlah. Pak Ibrahim melanjutkan sarapannya dan berangkat ke kantor.

Di tempat lain, udara pagi yang sejuk masih menyapa tempat tersebut. Aiman turun dari kendaraannya kemudian berjalan ke tempat orang yang dia cintai berada. Makam sang Bunda, Aiman datang sendirian tanpa di temani oleh sang Ayah seperti tahun-tahun sebelumnya. Meskipun tadi sempat di ajak oleh ayahnya tapi tetap saja dia tolak ajakan tersebut. Aiman menabur bunga dan berdoa untuk Bunda.

“Assalamualaikum Bunda, ini Aiman. Kali ini Aiman datang sendiri.” Monolog Aiman.

“Oh iya Bun. Beberapa hari yang lalu Aiman ngelamar pujaan hati Aiman tapi Ayah tidak merestui, makanya Aiman perang dingin dengan Ayah. Entah kenapa sejak pertemuan pertamaku dengan dia Aiman merasa ada yang berbeda dan hal itu membuat sisi hati Aiman tersentuh. Nanti kalau memang Aiman berjodoh dengan dia akan Aiman kenalkan ke Bunda. Aiman pamit ya bunda.” Jelas Aiman panjang lebar kemudian berlalu.

Beberapa jam kemudian pak Ibrahim datang ke makam istrinya sambil membawa buket bunga dan kaget mendapati taburan bunga yang masih segar.

Rupanya dia datang juga,ck! Dia hanya tidak ingin datang bersamaku. Batin Pak Ibrahim.

Ritual ziarah makam pada umumnya dilakukan oleh pak Ibrahim.

“Bunda, anak kita sudah gede’ oh bukan dia sudah mateng tapi belum juga menikah.” Monolog Pak Ibrahim.

“Meskipun beberapa hari yang lalu Aiman memperkenalkan seorang gadis, tapi Ayah tidak srek sama dia.” Sambungnya.

“Ayah sebenarnya berharap yang menjadi pendamping Aiman kelak adalah gadis kecil tetangga kita dulu. Semoga saja.” Harap Pak Ibrahim sambil terkekeh.

“Sayang, Aku merindukanmu. Tunggu Aku disana.” Tutup pak Ibrahim sambil menyeka air di ujung matanya.

***

Suasana hati Arumi saat ini sudah hancur berantakan, menjadi uring-uringan, bahkan mulai lupa dengan skripsinya. Dia terlalu sibuk menata hati yang baru saja tumbuh kuncupnya tapi malah layu duluan.

“Rum, sarapannya dimakan jangan diaduk-aduk saja.” Interupsi Ibuknya yang dibalas anggukan kepala oleh Arumi.

“Arum ke kamar dulu.” Pamit Arumi setelah beberapa suap sarapannya masuk ke mulutnya.

“Arum kenapa sih?uring-uringan dari beberapa hari yang lalu?” tanya Abah.

“Entah, mungkin skripsinya lagi macet.” Jawab Ibuk.

Patah hati yang buruk. Batin Arumi sesampainya di kamar sambil menatap situasi kotanya di pagi hari dibalik balkon kamar.

Dering ponselnya membuyarkan lamunannya

Aiman Ibrahim calling...

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam. Ada apa bang?” balasnya dingin.

Skripsinya sudah sampai mana?kamu udah bimbingan lagi sama Ayah?”

“So far, masih aman.”

Abang cuman mau ngingetin, jangan prioritaskan perasaanmu diatas skripsimu. Sia-sia selama ini kamu kuliah  Skripsimu harus jalan meskipun perasaanmu stuck.

Bang perempuan itu perlu diperjuangkan. Batin Arumi.

“Hm.” Gumam Arumi

Abang tutup ya.”

Itu semacam perhatian atau peringatan sih. Gerutu Arumi.

Lalu dia beranjak menuju laptopnya dan mengaktifkannya berniat melanjutkan skripsinya. Dia mengotak-atik revisiannya. Arumi tersadar dari kegiatannya karena sejak Aiman menelponnya beberapa jam yang lalu dia seolah mendapatkan suntikan semangat. Sebegitu besarkah pengaruh Aiman di hidupnya?ngak mungkin! Ini murni demi masa depannya yang cerah.

Jangan lupa di vote...

My Love: ACC! (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang