05

42 6 3
                                    

Tepat dua minggu telah berlalu sejak kepergian Tifanny ke Belanda. Kehadiran Louis serta sikap manis kedua kakaknya membuat Rania merasakan kembali bahagia dalam hidupnya. Bahkan ia sudah tidak canggung lagi untuk bermanja-manja kembali dengan kakak-kakaknya, seperti tiga tahun lalu.

Seperti malam ini, ketiga gadis itu sedang duduk santai di depan layar televisi menghabiskan hari libur dengan marathon film. Tidak ketinggalan, Louis pun ikut bergabung ditengah mereka. Disela-sela menontonnya, Agatha sesekali memijat pelan pelipisnya yang terasa pusing. Mungkin ia terlalu lelah, karena harus menggantikan posisi Tifanny untuk mengurus kantor pusat.

"Oh iya, aku akan menginap beberapa hari di tempat temanku untuk mengerjakan proyek kampus" ujar Lia menarik atensi mereka.

"Yah...kenapa semuanya pergi sih??" Rania menunduk lesu sembari memainkan Louis dipangkuannya.

"Hanya beberapa hari" jawab Lia.

"Kalian semua selalu saja sibuk"

Setelah mengatakan itu, Rania beranjak pergi ke kamarnya dengan membawa Louis. Lia mendengus kesal melihat kelakuan Rania yang menurutnya menyebalkan.

"Kakak lihat itu? Dia mulai berani..."

"Baguslah, artinya dia semakin dekat bukan?" Jawab Agatha tersenyum miring.

"Aku mau ke kamar, kau juga tidurlah" Lia mengangguk sebelum mematikan televisi dan pergi ke kamarnya.

.
.
.
.
.

Pagi hari pun tiba. Agatha yang bangun paling awal, sudah selesai menyiapkan sarapan untuk semuanya. Lia dan Rania yang sudah siap langsung turun ke bawah untuk sarapan bersama.

"Ran, kau pulang jam berapa?" Tanya Agatha disela makannya.

"Sekitar jam 4, aku ada tugas kelompok. Kenapa?" Balas Rania.

"Yasudah nanti kujemput"

"Baiklah" jawab Rania. Setelahnya tidak ada lagi obrolan diantara mereka.

.
.
.
.
.

Agatha dengan lihai memainkan jarinya diatas keyboard, mengetik beberapa laporan yang harus dikirim kepada Tifanny. Walaupun ia yang mengurusnya disini, Agatha tetap harus melapor pada Tifanny setiap harinya. Mata bulatnya yang menatap tajam, ditambah dengan dahinya yang terus mengkerut cukup menjelaskan betapa serius dia saat ini.

Klik.

E-mail telah terkirim..

Agatha menghempas lelah tubuhnya diatas sofa didalam ruangannya. Merenggangkan sedikit tubuhnya yang kaku karena terus duduk dalam posisi yang sama. Matanya melirik sekilas jam yang tergantung di ruangannya, menunjukkan pukul 08.00 malam. Seketika dirinya teringat akan janjinya untuk menjemput Rania tadi pagi.

"Dia pasti sudah pulang, ini sudah terlalu lama" gumamnya, lalu kembali membaringkan tubuhnya.

Tok..tok..tok

"Permisi bu Agatha, apa ibu mau ikut makan malam bersama karyawan lainnya?" Tanya seorang wanita yang merupakan sekretarisnya.

"Aku ikut, beritahu yang lain untuk menungguku" balas Agatha beranjak untuk mengemasi barang bawaannya.

.
.
.
.
.

"Neng, belum dijemput? Bapak sudah mau tutup gerbang" seorang satpam menegur Rania yang duduk di lobby sekolahnya.

"Ah..maaf pak," jawab Rania lalu keluar dari area sekolahnya.

Tiga jam yang lalu, Yuta sudah menawari dirinya untuk diantar pulang. Namun, karena Agatha sudah berjanji untuk menjemputnya, ia pun menolak ajakan Yuta. Tapi sekarang? Dimana kakaknya itu?.

Menyerah untuk menunggu, ia memilih untuk berjalan kaki saja walau jarak yang bisa dibilang tidak dekat. Jalanan yang mulai sepi, ditambah gelap dan dinginnya malam cukup membuatnya takut sekarang. Rania hanya berharap dirinya bisa pulang tanpa masalah.

Tap..tap..tap

Rania menoleh ke belakang saat mendengar suara langkah kaki, tetapi tidak ada siapapun disana. Mencoba berpikir positif, ia kembali melanjutkan langkahnya. Namun, semakin ia jauh melangkah suara langkah kaki itu kembali terdengar. Dirinya mulai gelisah, kakinya bergerak semakin cepat hingga di persimpangan jalan suara itu hilang.

Rania menyandarkan tubuhnya sembari mengatur nafasnya yang mulai sesak. Merasa lebih baik, ia kembali melanjutkan perjalanannya hingga tiba di rumah dengan selamat. Namun Rania tidak tahu, bahwa orang itu terus mengikutinya sampai depan rumahnya.

"Akhirnya aku menemukanmu..." gumam orang itu sebelum pergi dari depan rumah Rania.

.
.
.
.
.

Agatha memasuki rumahnya dengan rasa lelah memenuhinya. Setelah meletakan sepatu dan mengunci pintu, ia langsung menuju dapur untuk mengambil segelas air. Setelah selesai dengan urusan minumnya, ia menatap heran makanan yang ada di meja makan.

" dia memasak untukku?" Batin Agatha melihat beberapa hidangan yang masih hangat di meja makan.

Sedikit rasa bersalah timbul dihatinya, namun segera ditepisnya jauh-jauh. Karena masih kenyang, ia memasukan makanan itu kedalam kulkas untuk sarapan besok, dan setelahnya ia pergi ke kamarnya.


"Shh... akh.."

Rania terbangun dari tidurnya karena rasa sakit menyerang dadanya. Dengan cepat ia langsung mengambil botol obat disebelah kasurnya dan menelan paksa beberapa pil. Butuh waktu yang cukup lama sampai rasa nyeri itu hilang.

Tidak bisa kembali tidur, ia memilih untuk turun ke bawah dan menonton di ruang tengah. Namun belum sampai diruang tengah, dirinya berhenti di depan kamar Agatha, memastikan apakah kakaknya sudah pulang atau belum.

Pintu dibuka perlahan, dilihatnya Agatha masih sibuk menatap layar tabletnya sembari membaca kertas-kertas yang menumpuk di meja kerjanya. Helaan nafas dikeluarkannya, Kakaknya masih saja membawa pekerjaan kantornya ke rumah. Dirinya berlalu ke dapur, dan kembali dengan segelas susu hangat.

"Kak Aga.." Rania meletakan susu tadi di atas meja. Agatha sendiri tersentak kaget karena tidak menyadari kehadiran adiknya.

"O-oh terima kasih" ujar Agatha dengan senyum kikuk.

"Kakak tidak lelah? Jangan terlalu keras bekerja"

"Kau kenapa tidak tidur?" Agatha balik bertanya.

"Dadaku sesak tadi, setelahnya aku tidak bisa tidur"

"Tidurlah, jangan membuat sakitmu bertambah parah" balas Agatha merapikan berkasnya, dan meminum susu dalam sekali teguk.

"Ayo tidur" Agatha menarik tangan Rania menuju ranjangnya.

Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, Agatha berbaring memeluk Rania dan menyanyikan lagu tidur, seperti yang selalu dilakukannya dulu. Dalam sekejap, suara dengkuran halus Rania mulai terdengar menandakan dirinya sudah tertidur pulas.

.
.
.
.
.

FAULT  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang