Sore hari yang cerah, dipenuhi derap langkah kaki seorang gadis memenuhi sebuah lobby gedung perusahaan. Dibelakangnya beberapa orang mengikutinya dengan terus menunduk. Langkah kaki yang cepat disertai raut wajah tidak bersahabat membuat beberapa karyawan disana tidak berani menatap gadis itu.
Gadis itu terus melangkah menuju sebuah ruangan yang sudah diisi beberapa orang didalamnya untuk membahas urusan bisnis. Raut wajahnya langsung diubah 180° untuk menjaga citra didepan kliennya.
"Selamat sore Pak Hans, maaf saya terlambat. Silahkan duduk"
"Tidak apa Bu Agatha, saya juga baru beberapa menit disini" balas pria yang cukup berumur dengan senyum tipis.
"Baiklah, mari kita mulai. Seperti yang sudah saya jelaskan minggu lalu, proyek pembangunan ini membutuhkan dana yang cukup besar, namun bisa memberikan profit yang menjanjikan. Untuk itu-"
"Tidak perlu dijelaskan lagi, saya sudah paham" Pak Hans menghentikan penjelasan Agatha.
"Jadi apa bapak setuju?" Agatha menatap dengan penuh harap.
"Nak Agatha, bukannya saya tidak mempercayai anda dalam memimpin proyek ini. Tapi anda belum pernah memegang proyek sama sekali bukan? Bagaimana bisa saya menyetujui anda mengurus proyek bernilai milyaran ini?"
"Saya yakin bisa, bapak bisa melihat sendiri track pencapaian perusahaan kami" jawab Agatha dengan percaya diri.
"Saya percaya dengan perusahaan ini, jika dibawah pimpinan Tifanny. Maaf, Itu saja yang ingin saya sampaikan" Pak Hans tersenyum sebelum berdiri dan beranjak pergi meninggalkan Agatha yang masih terdiam dengan wajah mulai memerah.
Selepas meeting tadi, Agatha memilih untuk segera pulang, menghindari dirinya memarahi karyawan disana.
.
.
.
.
.Rania, gadis itu sedang merapikan biolanya selepas latihan tadi. Dirinya semakin sering berlatih mengingat kompetisi yang akan diikutinya hanya tinggal beberapa bulan. Menyadari ada yang meneleponnya, Rania langsung mengambil ponselnya dan menggeser tombol hijau.
"Halo?"
"Halo Ran!! Ini bibi sayang, bagaimana kabarmu?"
"Bibi Tif?!! Aku rindu bibi... segeralah pulang.." balas Rania mengerucutkan bibirnya.
"Aku akan pulang minggu depan. Kau ingin bibi bawakan apa?"
"Bawakan aku coklat yang banyak!!" Jawab Rania semangat.
"Baiklah, aku harus kembali bekerja. Jaga dirimu, jangan kelelahan oke?"
"Oke" balas Rania lalu mematikan ponselnya. Dirinya sangat senang mengetahui bahwa bibinya akan segera pulang. Setelah selesai membereskan barang-barangnya, Rania berjalan keluar sekolah untuk menunggu Pak Bram menjemputnya.
.
.
.
.
.Sesampainya di rumah dan seperginya Pak Bram, Rania mendengat suara teriakan yang cukup keras dari kamar Agatha. Dengan cemas ia segera berlari menuju kamar kakaknya, berharap Agatha baik-baik saja.
"Kak, kak Aga kenapa?" Rania terus mengetuk pintu kamar Agatha yang tekunci.
"Aku tak apa. Tolong belikan aku beberapa bir, bawa kartu ku yang diatas meja" balas Agatha tanpa membuka pintu.
"Sejak kapan kakak minum bir? Aku buatkan kopi saja ya?" Tawar Rania mengingat minuman itu berbahaya untuk tubuh kakaknya.
Seketika pintu kamar terbuka menampilkan Agatha dengan wajah kusutnya menatap Rania tajam. Rania sedikit bergetar melihat tatapan itu yang mengingatkannya akan Agatha yang dulu.

KAMU SEDANG MEMBACA
FAULT [END]
Fiksi UmumOrangtua adalah sosok yang sangat berarti bagi setiap orang didalam kehidupan mereka. Namun, bagaimana jika sosok itu harus pergi lebih cepat dari yang seharusnya? Menorehkan luka mendalam bagi yang ditinggalkan. Rania Akcaya, si bungsu dari keluarg...