Pagi ini, seorang gadis dengan langkah besar berjalan menyusuri lorong sebuah rumah sakit besar. Setelah mengantar Rania ke sekolah, Lia langsung memutar mobilnya menuju rumah sakit dimana Rania diperiksa kemarin. Langkahnya melambat, memperhatikan setiap ruangan yang dilewatinya hingga pintu coklat yang berada di ujung lorong menarik perhatiannya.
Tok..tok..tok
"Oh Lia, silahkan masuk"
"Hm..hai Grace" balas Lia kikuk, lalu duduk di depan Grace.
"Lama tidak bertemu, apa yang membawamu kemari?"
"Ini....bisa kau jelaskan isinya?" Ujar Lia menyerahkan hasil pemeriksaan Rania.
Raut wajah Grace yang awalnya ceria, langsung berubah sendu melihat hasil pemeriksaan yang dibawa Lia. Menghela nafas berat, ia kembali membuka amplop coklat itu dan mulai menjelaskannya pada Lia.
"Kau tahu kan Rania terlahir dengan kelainan katup jantung?, jantungnya jadi bekerja lebih keras dari seharusnya. Karena itu, jantungnya membengkak" ujar Grace menunjukan hasil Rontgen Rania.
"Apakah itu berbahaya...??" Lia menatap cemas Grace yang mengangguk kecil.
"Itu meningkatkan resiko terkena stroke, bahkan lebih parahnya serangan jantung"
Tubuh Lia menegang mendengar ucapan Grace. Takut, entah mengapa ia merasa takut bila kondisi adiknya itu semakin buruk. Diraihnya tangan Grace dan digenggamnya dengan tatapan penuh harap.
"Bisakah kau menyembuhkannya?? A..aku akan menanggung semua biayanya, kumohon..." lirihnya dengan tatapan sendu.
"Dia bisa sembuh dengan operasi, tapi ada satu masalahnya..."
.
.
.
.
.Tifanny lagi-lagi dibuat kaget oleh suara pintu akibat ulah keponakannya. Jika kemarin Agatha yang melakukannya, kali ini pelakunya adalah Lia. Setelah mendengar semua penjelasan Grace, Lia langsung menghampiri gedung bertingkat tempat kakak dan bibinya bekerja.
Gadis muda itu berjalan cepat menghampiri Tifanny yang hanya duduk diam memandangnya, masih dalam efek terkejutnya. Mengambil nafas dalam, Lia menenangkan dirinya sejenak sebelum memulai percakapan.
"Ada perlu apa kau kesini?" Tanya Tifanny beralih dari kursinya menuju meja kecil di pojok ruangan untuk membuatkan teh.
"Aku ingin memberitahu kondisi Rania.."
"Rania kenapa?" Balas Tifanny sudah kembali dengan dua cangkir teh.
Lia membasahi bibirnya sebentar, sebelum melanjutkan kalimatnya.
" kondisinya semakin buruk, Grace bilang jantungnya mulai membengkak, Ran harus segera dioperasi..."
Tifanny hampir tersedak mendengarnya. Ditatapnya dalam Lia yang sudah menyerahkan sebuah amplop coklat. Dengan ragu ia mengambil amplop itu, membaca isinya dengan teliti.
"Grace bilang Ran harus segera di operasi sebelum kondisinya menjadi lebih-"
"Percuma" potong Tifanny, menyenderkan tubuhnya lalu menutup mata.
"Dia akan menolaknya, seperti dulu..." lanjut Tifanny mengingat kembali kejadian dua tahun lalu, dimana Rania dengan keras menolak untuk menyetujui operasi yang akan dilakukannya.
"Tidak ada cara lain bi..." kekeh Lia.
"Kau harus membujuknya, aku tidak bisa lagi melakukannya. Dia akan langsung marah jika aku membahasnya" balas Tifanny.
.
.
.
.
.Senyum lebar tidak pernah hilang dari wajah Rania hari ini. Mulai dari pagi hari saat Lia mengantarnya sekolah, hingga saat dirinya dijemput kembali lengkungan itu masih tetap ada, bahkan semakin lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAULT [END]
Художественная прозаOrangtua adalah sosok yang sangat berarti bagi setiap orang didalam kehidupan mereka. Namun, bagaimana jika sosok itu harus pergi lebih cepat dari yang seharusnya? Menorehkan luka mendalam bagi yang ditinggalkan. Rania Akcaya, si bungsu dari keluarg...