12

45 4 0
                                    

Keheningan menyelimuti keadaan empat orang gadis yang sedang menyantap sarapan mereka. Rania yang masih merajuk sejak semalam, melahap sarapannya dengan cepat dan langsung berangkat ke sekolah tanpa mengatakan apapun.

"Sampai kapan dia akan terus merajuk?" Gumam Lia.

"Minta maaf lah padanya" saran Tifanny menepuk ringan pundak Lia, memberi semangat.

.
.
.
.
.

Waktu berjalan begitu lambat bagi Rania hari ini. Saat ini, dirinya sedang memperhatikan guru matematika nya menjelaskan tentang logaritma, pelajaran yang sangat ia tidak sukai.

Namun, fokusnya terganggu saat tiba-tiba sesak nafas menguasainya. Tangannya dengan cepat membongkar isi tasnya, mencari obat yang harus segera ia minum.

"Ran kenapa??" Bisik Deana melihat Rania yang sibuk membongkar isi tasnya.

Rania tidak menjawab ataupun menghiraukan pertanyaan Deana. Dirinya masih sibuk mencari sebotol obat yang sangat dibutuhkannya sekarang.

"Hei apa yang kau cari???" Tanya Deana lagi.

"Obatku....nafasku sesak.." balas Rania pelan.

Raut cemas mulai nampak diwajahnya yang kini sudah pucat disertai keringat dingin. Bahkan, Deana juga ikut cemas melihat Rania terus meremas dada kirinya dengan mulut terbuka.

"Kita ke uks saja ya..." bisik Deana dibalas gelengan Rania.

"Akhh...!!"

Seisi kelas langsung menoleh kearah mereka, bahkan sang guru sudah berlari menhampiri Rania dengan tatapan cemas.

"Kenapa Ran..?"

"Nafasnya sesak bu" jawab Deana mewakilkan Rania yang sudah terduduk lemas dengan mata terpejam.

"Deana panggil ambulans kita akan ke rumah sakit"

"ja...ngan..." ucap Rania lemah namun tidak dihiraukan Deana.

Segera Deana mengambil ponselnya, juga sang guru yang langsung menggendong Rania dibantu beberapa siswa untuk keluar kelas.

Sekitar sepuluh menit berlalu, ambulans tiba dan para petugas langsung membaringkan Rania diatas brankar. Masker oksigen juga dipasangkan padanya disertai Deana dan Sang guru yang ikut masuk kedalam ambulans.

Setibanya di rumah sakit, Rania langsung dilarikan ke IGD disusul Gurunya dan Deana. Berbagai macam alat medis mulai dipasangkan ke tubuhnya yang sudah tidak sadarkan diri.

Sedangkan Deana dan sang guru hanya bisa menunggu di luar, berdoa semoga Rania baik-baik saja.

Selang satu jam, seorang dokter keluar dari IGD dan menghampiri mereka berdua.

"Apa kalian kerabat pasien Rania?" Tanya dokter itu. Deana dan gurunya hanya mengangguk menanggapinya.

"Perkenalkan saya Grace, dokter yang merawat Rania selama ini. Kalian tidak perlu khawatir, untuk saat ini kondisinya mulai membaik"

Mendengar itu, Deana dan gurunya bisa bernafas lega setelah sekian lama menunggu hasil pemeriksaan Rania.

"Apa kalian sudah menghubungi keluarganya?" Tanya Grace lagi.

"Sudah dok, bibi nya sedang dalam perjalanan kesini" jawab Deana.

"Kalau begitu saya permisi, untuk sekarang kalian belum bisa mengunjungi Rania sampai ia dipindahkan ke kamar rawat nanti" ujar Grace sebelum meninggalkan dua wanita itu di depan IGD.

.
.
.
.
.

Tifanny berlari disepanjang lorong rumah sakit dengan raut wajah cemasnya. Setelah mendapat kabar dari Deana bahwa Rania dilarikan ke rumah sakit, Tifanny langsung bergegas datang dari kantornya. Langkah kakinya berhenti di depan ruang rawat VIP. Mengatur nafas sejenak, sebelum tangannya bergerak membuka knop pintu.

FAULT  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang