Seorang gadis dalam balutan seragam lengkap duduk termenung di salah satu bangku taman sore ini. Ditemani suara gemerisik daun dan semilir angin, gadis itu memejamkan kedua matanya, menikmatinya. Suasana tenang karena hanya ada beberapa orang yang mengunjungi taman ini.
Matanya terbuka, berpaling menatap benda pipih yang terus bergetar dalam genggamannya, menampilkan nama seseorang yang sedari tadi tiada henti menghubunginya. Ibu jarinya bergerak menggeser tombol merah, dan memasukkan benda itu kedalam saku, saat seseorang datang menghampirinya.
"Ran! Sudah lama menunggu?" Tanya Deana yang baru saja datang.
"Tidak, ayo kita pergi sekarang" balas Rania menggandeng Deana menuju halte bis terdekat.
Setelah pulang sekolah tadi, Rania mengajak Deana untuk menemaninya pergi ke suatu tempat. Deana setuju, tetapi dia pulang terlebih dahulu untuk mengganti seragamnya.
.
.
.
.
.Tifanny menghela nafas kasar melihat panggilannya yang kesekian kali ditolak Rania. Dirinya hanya mengkhawatirkan nya, tidak lebih. Penculikan yang dilakukan Talia membuatnya semakin ekstra menjaga Rania.
Tangannya bergerak mengirim pesan kepada Bram, orang kepercayaan nya untuk melacak dimana keberadaan Rania saat ini. Setelah 10 menit menunggu, Bram mengirim sebuah foto yang memperlihatkan Rania sedang bersama temannya berada di sebuah toko buku.
"Kenapa kau selalu membuatku khawatir hm?" Gumam Tifanny menatap sendu foto Rania.
.
.
.
.
."Kau langsung pulang?"
"Hm, maaf ya. Ibu menyuruhku segera pulang" jawab Deana masih sibuk membalas pesan dari ibunya.
"Tidak masalah, aku juga langsung pulang" balas Rania.
"Kalau begitu, sampai jumpa Ran" Deana melenggang pergi setelah taksi online yang dipesannya tiba.
Rania masih duduk di depan toko buku tadi, menunggu bis datang sembari menikmati es krim vanilla yang baru dibelinya. Disaat bus yang ditunggu tiba, Rania langsung masuk ke dalam dan duduk di barisan belakang.
Sesampainya di rumah, Rania menemukan kedua kakaknya sedang bersantai di ruang tengah bersama Louis. Tidak berniat untuk bergabung, ia langsung pergi ke kamarnya.
.
.
.
.
.Pagi hari tiba disambut dengan suara bising dari arah dapur. Rania sedang mencari sesuatu yang bisa dimakan, karena Agatha sudah pergi bekerja tanpa membuat sarapan. Wajahnya berseri melihat sekotak salad buah tersimpan rapi didalam kulkas. Dengan cepat diraihnya kotak itu, dan dibawa menuju meja makan.
"Kak Aga tidak akan memarahiku kan?" Bimbang Rania di depan salad buah milik Agatha yang menggodanya.
"Ah masa bodoh, lagipula Kak Aga sudah berangkat kerja"
Rania mulai menyantap salad buah dihadapannya dengan khitmat. Terlalu asik sendiri sampai-sampai tidak menyadari Lia sudah duduk dihadapannya dengan semangkuk sereal.
Namun, tiba-tiba Rania merasa sesak pada dadanya, diikuti bintik-bintik merah perlahan timbul di kulitnya. Lia yang melihat Rania kesulitan bernafas, menepuk pelan punggungnya, mengira jika adiknya tersedak.
"Makanlah perlahan, aku tidak akan memintanya " gurau Lia masih menepuk pelan punggung Rania.
Lia membulatkan matanya mengetahui bahwa dirinya salah setelah melihat wajah Rania yang mulai membengkak dan merah. Dia juga menemukan bercak kemerahan disekujur tubuh adiknya.
"Yak, kau kenapa?! Ja..jangan membuatku takut" Lia memeriksa apa yang baru saja dimakan Rania, sampai ia menemukan potongan alpukat didalamnya.
"Kita ke rumah sakit sekarang"
Lia langsung menghubungi ambulance untuk membawa Rania mendapatkan pertolongan pertama.
.
.
.
.
.Sebuah ruang rawat di rumah sakit besar berisi seorang gadis yang terbaring lemah dengan infus dan masker oksigen melekat pada tubuhnya. Tidak sendirian, gadis lemah itu ditemani sosok gadis lainnya yang hanya menatap kosong dengan pikiran dipenuhi banyak hal.
Lia duduk termenung menatap Rania yang sudah terlelap karena efek obat yang diberikan. Satu jam yang lalu, dokter mengatakan kondisi Rania sempat drop karena kekurangan oksigen, yang dipicu oleh alerginya.
"Ck...ada apa denganku.." gumam Lia mengusap kasar airmatanya yang datang tiba-tiba.
Beberapa saat kemudian Rania perlahan membuka kedua matanya, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya. Nyeri masih dirasakannya, namun yang menarik perhatiannya adalah gadis yang duduk menatapnya dengan pandangan yang tidak ia mengerti.
"Merasa lebih baik?" Tanya Lia menghampiri Rania yang sudah terduduk di atas ranjangnya.
"Hm..masih sedikit nyeri, kulitku juga gatal"
"Kau tidak tahu ada alpukat di dalam saladnya?"
"Tidak, aku sudah kelaparan" jawab Rania sedikit acuh.
"Istirahatlah, aku akan menemui dokter" ujar Lia sebelum pergi meninggalkan Rania.
"Tadi itu...dia berpura-pura, atau perhatian sungguhan?" Gumam Rania seorang diri.
.
.
.
.
.Selepas menemui dokter, Lia memilih untuk singgah sebentar di taman rumah sakit. Memilih duduk sendiri di sebuah kursi panjang, yang menghadap langsung sebuah taman bermain untuk pasien anak-anak.
Dirinya duduk termenung, memikirkan setiap ucapan dokter tentang kondisi Rania tadi. Walau tidak terlalu membahayakan, tetap harus diwaspadai.
"Kenapa aku khawatir? Bukannya bagus kalau dia meninggal?" Gumam Lia. Egonya yang tinggi mengalahkan rasa kemanusiaannya.
"Kenapa juga aku peduli, ckck..." Lia bangkit berdiri, dan berjalan menuju lift, turun menuju lantai dasar.
.
.
.
.
.Rania duduk gelisah dan terus mengecek jam yang terpasang di dekat pintu. Sudah sekitar dua jam sejak kepergian Lia, dan sampai sekarang kakaknya itu belum kembali juga. Perhatiannya teralih saat mendengar suara pintu di buka. Namun, sosok dibaliknya langsung melunturkan senyum lebar di wajahnya, digantikan tatapan malas.
"Wah...tatapan apa itu?, kau sepertinya tidak ingin bertemu denganku.." goda sang dokter bernama Grace yang sudah menjadi dokter tetap Rania.
"Ck... aku bosan bertemu denganmu kak" balas Rania.
Grace dan Rania memanglah cukup akrab mengingat dokter muda ini yang selalu menangani Rania selama lima tahun terakhir. Grace mengganti kantung infus Rania dengan yang baru, juga menyuntikkan obat kedalam infusnya.
"Masih sulit bernafas?" Tanya Grace meletakkan stetoskopnya di dada Rania, mendengarkan detak jantungnya.
"Sedikit, dan kulitku masih gatal" jawab Rania menunjukkan tangannya yang terdapat bintik-bintik merah.
"Aku akan bawakan salep nanti"
"Ah iya, apa kakak bertemu dengan kak Lia?"
"Lia kakakmu? Aku tidak bertemu dengannya. Kenapa?" Jawaban Grace menimbulkan senyum tipis namun terdapat gurat kecewa didalamnya.
"Tidak apa"
"Ya sudah istirahatlah"
Grace pergi meninggalkan ruangan Rania, menyisakan pemiliknya seorang diri. Rania tidur menatap langit-langit rumah sakit dengan banyak pikiran memenuhi kepalanya sekarang.
"Jangab terlalu berharap Ran...mereka tidak akan berubah" gumam Rania sebelum menutup matanya memasuki alam mimpi.
.
.
.
.
.

KAMU SEDANG MEMBACA
FAULT [END]
Genel KurguOrangtua adalah sosok yang sangat berarti bagi setiap orang didalam kehidupan mereka. Namun, bagaimana jika sosok itu harus pergi lebih cepat dari yang seharusnya? Menorehkan luka mendalam bagi yang ditinggalkan. Rania Akcaya, si bungsu dari keluarg...