Rencana Pertama

28 5 0
                                    

Haina pov

Barusan aku dapat telepon dari kak Adit, kakel yang beberapa hari lalu memberikan aku sebotol air. Hari ini dia mengajakku keluar, jalan bareng kemana aja.

Belum lagi aku izin sama mama, pamit sama papa. Mau main keluar-keluar aja ada adek laknat yang bakal ngadu.

"Ma, lagi ngapain?" Kebiasaanku sebelum minta, basa-basi lah.

Mama mendongak, ia menurunkan apel yang ia kupas dan melihat ke arahku.

"To the point saja, kamu mau apa?" Tanya mama.

What, saking tahu tabiat putrinya. Mama yang langsung nanya to the point. Ah aku nggak suka, kalau ginu pasti nggak diizinkan.

"Mama kok gitu sih, kan biasanya aku juga begini sama mama." Aku mengambil apel yang ada di tangan mama terus mengupasnya, "Aku mau izin."

"Tuh kan bener, kemana? Jalan-jalan sama Bintang? Nggak boleh." Mama tiba-tiba berubah kayak monster, ia mengambil apel yang di tanganku terus mengupasnya kembali.

"Bukan ma, sama kak Adit... Bolehlah ma, waktu di sekolah lama aku diizinin terus pergi, kenapa sekolah baru nggak?" Penasaran banget aku alasannya apa.

"Sama Fahri boleh, yang lain nggak!" jawab mama.

Ah lama-lama nggak waras aku.

Temen sebelah bangku Fahri

Guru privat Fahri, eh...

Jalan juga harus sama Fahri?

Apa lelaki di duniaku cuman dia?!

Aku menghentakkan kaki, apa harus masuk osis dulu biar bisa pergi kemana-mana tanpa izin? Soalnya si Reza pulang malam juga nggak kena marah sama mama.

"Haina, aku ada bawa martabak nih"

"Nggak mau! Sana buang aja." Aku naik anak tangga satu persatu.

Aku menutup pintu kamar keras, menatap diriku di depan cermin. Sip udah kayak orang kesurupan.

"Eh Haina, kamu itu udah gede... Masa diatur terus sama mama?! Nggak malu apa?"

"Aku juga udah berusaha kali, tapi mama pasti jawabannya... Perginya sama Fahri aja ya, nggak boleh nanti malam Fahri mau kesini ngajar, itu lah ini lah." Lanjutku.

Aku memgacak rambutku untuk kesekian kalinya, buriq makin buriq jadinya. Pengen tak ih, sabar untung orang tua.

"Kurang apa coba aku dari kecil udah sama-sama Fahri, masa gede nya juga sama dia sih? Jangan sampai nikah juga sama dia... Nggak-nggak." Pikiranku mulai travel kemana-mana, nikah? Astaga.

Reza tiba-tiba mengirimkan pesan.

Reza : Eh kenapa? Turun gih ada martabak nih

Aku : Nggak, males

Reza : Ngambekan, turun sini... Nggak laper?

Aku laper dari tadi belum makan, tapi kalau turun aku kalah dong... Nggak ah.

Aku : Dahla jangan ganggu, mau tidur.

Aku melempar ponselku ke sofa, kebiasaanku sih main lempar-lempar ponsel.

"Oh iya, kemaren aku kan udah bantuin si Fahri buat minum obat. Dia harus bales kebaikan aku dong." Batinku, balas budi kadang harus dipakai juga.

***

Bel pulang sekolah berbunyi.

Aku menunggu Fahri di lahan parkiran, tumben tuh anak belum sampai? Tadi sebelum bel pulang sekolah berbunyi aku memberitahunya untuk menemuiku di lahan parkiran sekolah.

"Kenapa?" Suara itu membuyarkan lamunanku, aku menengok ke arah suara tersebut.

"Lama banget triplek, kamu kemana sih?" Tanyaku kesal.

"Hmm," gumamnya.

Tabok orang dosa nggak sih? Nih anak sekali-sekali boleh nih dikasih pelajaran bela diri_-.

"Temanin aku jalan," ujarku disambut tatapan datar darinya.

"Kemana?"

"Ke taman hiburan, sama kak Adit. Boleh ya?" Tanyaku sangat berharap.

"Nggak,"

"Fahri plis... Aku kan udah bantuin kamu minum obat kemarin," aku tersenyum manja.

Fahri melongos kemudian menggeleng.

"Plis... Sekali ini aja, bilang sama mama kalau kamu mau jalan sama aku." Rela banget ngemis ama si triplek, padahal ogah banget aku.

"Malas," setelah bilang begitu dia menyalakan motornya meninggalkan pekarangan sekolah.

"Kan untuk kedua kalinya nyesel banget aku minta sama dia," batinku.

"Pulang yuk," Reza tiba-tiba datang menepuk pundakku.

"Ogah, naik taxi aja aku." Jawabku ketus.

"Kenapa? Dari semalem kamu begini? Coba cerita, kalau aku bisa bantu, aku bantuin." Kata Reza membuatku heran, tumben banget nih saudara baik.

"Beneran?"

"Apa dulu?"

Aku menceritakan dari awal hingga akhir tentang kak Adit yang ngajak jalan hingga penolakan ketus si triplek tadi.

"Oh"

Nji* cuman oh doang? Aku cerita panjang lebar.

"Ih gitu aja manyun, sini kubisikin." Sepertinya Reza tahu apa yang ku maksud, dia bahkan membuat rencana hingga melibatkan si triplek.

Serta merta aku langsung memeluknya di depan umum seperti ini, ah nggak peduli tatapan oranglah. Toh dia saudaraku.

"Eh lepasin bego," Reza melepaskan tangannya dariku.

"Yaudah, aku mau pulang dulu." Ucapnya.

"Eh aku ikut..."

"Katanya mau naik taxi kan? Yaudah, aku mau ke kafe dulu bentar." Ujarnya polos.

Eh gila, punya saudara nggak peka banget. Aku menguntitnya dari belakang.

"Ngikutin aku?" Tanya Reza sadar jika ia sedang diikutin.

Bibirku maju setengah senti, Reza melempar kunci motornya padaku.

"Bawa" ah a-apa? Aku yang bawa? Mau masuk selokan?

"Aku ajarin, cepetan." Ia menatapku lekat.

Posisi kami sangat dekat sekarang, ah gila saudara berbau pacaran ini mah. Astaghfirullah otakku.

Salam literasi...

Jangan lupa tgglkan vote dan komen

Maaf baru update hehe

I, You and HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang