Sayang

9 0 0
                                    

Haina pov

Aku membuka gorden, pagi ini dingin sekali kebetulan di luar hujan deras. Untung saja ini hari minggu, jadi nggak buru-buru mandi pagi, mandinya ntar siang aja.

Entah kenapa pagi-pagi ada yang bunyiin bel, mana bunyinya berkali-kali, ganggu banget sumpah. Bibi mana sih? Si fahri juga biasanya pagi-pagi dia udah bangun.

Dengan mata yang masih terkantuk, sesekali aku menguap, aku saja masih mengumpulkan niat untuk menginjak bumi.

"Pagi-pagi ganggu tidur kampret banget." Bisikku dalam hati.

Nggak sabaran, di bunyiin terus belnya.

"Sabar anjim" makiku sembari membuka kunci rumah.

"Lama banget," aku kaget banget, bukan karena suara itu. Tapi, karena lelaki yang dibawa si Reza mana pincang-pincang lagi, di tambah kepalanya yang di perban.

"Ambilin air," pinta Reza yang melihatku terdiam kaku di ambang pintu.

Tanpa membantah aku ke dapur mengambil air putih. Dalam hati aku bertanya "siapa orang itu? Biru lebam lagi dimana-mana."

Dalam hati aku bertanya-tanya, dia siapa? Reza nyulik anak siapa? Tapi kayaknya dia seumuran kayak kita-kita.

"Ini" aku memberikan segelas air putih hangat pada Reza.

"Lah kok panas sih?" Tanya Reza meletakkan gelas itu di atas meja.

"Bukan panas tapi hangat," bantahku, tadi saja hampir kubuka kulkas biar ditamabahkan es batu.

"Itu bagus buat orang sakit-sakitan kek dia." Aku menunjuk lelaki asing itu dengan dagu.

"Lah anjir lu aja," aku kaget pas denger dia pakai lu.

Astaga ini bukan Jakarta pakai lu gue, ya sayang. Iya juga sih, aku ke teman online pakai lu gue, tapi kalau nyata begini mah nggak pernah sekali pun.

Bisa dipastikan dia bukan orang sini.

"Kamu istirahat aja jangan dengerin dia," dih makin jijik aku, kayak gay aja si Reza.

Aku hendak berkata tapi kuurung ketika melihat si triplek berdiri di anak tangga paling bawah dengan segelas air putih yang ia teguk barusan, matanya tertuju pada kami yang berada di tengah ruang.

"Siapa?" Tumben nanya, biasanya dia berlalu aja.

"Aku ketemu dia tadi malam ditabrak lari sama mobil, sebelum ditabrak aku lihat sendiri dia digebukin habis-habisan sama preman—"

"Bukan preman, mereka itu suruhan paman gua," celetuknya sembari meneguk air yang kuberikan tadi.

Idih diminum juga tuh airnya.

"Nah itu maksudnya..." Reza menggantung kalimatnya, "bentar, apa katamu? Paman? Tidak mungkinlah paman setega itu."

Dia mengedikkan bahu, wajahnya terlihat tak peduli. Dilihat dari gerak-geriknya dia anaknya santai banget, anak orang kaya juga, coba aja kami ada niat jahat, mungkin barang-barang berharga yang ia pakai sudah kami rampas.

"Makasih ya udah nolongin gue, Reza." Ucapnya.

"Santai saja, itu pas baiknya doang."

Aku beranjak meninggalkan mereka, begitu juga Fahri. Kami saling pandang, cukup lama sekian detik doang sih.

"Apa lihat-lihat?! Awas."

Fahri duduk kembali, what kayak istri takut suami aja wkwk.

"Oh iya kamu belum kenalin nama," ujar Reza.

Aku tak mempedulikan lagi pembicaraan mereka, ini hari libur mending aku lanjutin tidur di atas.

***

Benar-benar tak ada yang membangunkanku, parah banget sih aku baru bangun jam segini. Siang banget, badan sampai sakit semua, mana perut juga keroncongan.

Dengan nyawa yang masih dibilang belum sepenuhnya menginjak bumi, aku turun ke bawah bermaksud untuk mencari makanan.

"Sayang"

Wah kaget banget astagfirullah, siapa yang manggil sayang itu? Baru bangun kok ada yang uwu-uwuan disini? Aku duduk di samping Reza yang sedang melahap makanan di piringnya, sedangkan Fahri seperti biasalah menyiapkan makanan serta minuman bersama bibi, rajin banget kan.

"Baru bangun si pemalas," sindir Reza.

Aku menatapnya sebal, coba diam saja jangan ditegur habisin aja tuh makanan.

"Sibuk banget, yang punya mata siapa?" Hardikku.

"Yaelah terserah deh"

Aku langsung gercap mengambil sepotong cake dilapisi cokelat dan keju lalu melahapnya.

"Mandi dulu, jorok banget." Aku terpaku, what happend ae naon? Orang baru gituin aku astaga.

"Reza..."

Reza memandangiku setengah tertawa, astaga malunya sampai ke ubun-ubun.

"Bener sayang, marahin aja dia pemalas!"

Lagi-lagi aku aneh, sayang? Bentar... Kok?

"Sayang?" Tanyaku.

"Oiya, belum kenalan. Kenalin nama gue Sayang Putra, asal Jakarta." Dia menjabat tanganku paksa.

"Eh, sayang?"

"Ya kenapa?" Astaga kaget anjir, namanya beneran Sayang? Lah ngakak.

Aku tertawa kecil, pagi-pagi udah dapat asupan lawakan aja. Mana ada orang punya nama begitu, status jomblo terasa punya jadinya.

Dia—yang namanya Sayang itu menatapku ngeri. Mungkin di dalam hati ia berpikir, cantik-cantik kok begitu ckck.

"Udah ya, aku mau mandi dulu Sayang" gumamku, wah ngakak lagi sumpah kayak punya doi.

Aku beranjak segera pergi ke kamar mandi, saat di dapur aku berpaspasan dengan Fahri, si triplek yang baru saja mencicipi sop buatan—nggak tau juga buatan siapa.

"Mau coba" aku mendekati Fahri, sedikit menyinjitkan kaki.

"Nanti, masih panas sekali." Jawabnya sembari mematikan kompor.

"Kan nyicip sesendok doang, nggak bakal terasa."

Fahri menatapku, ia memberikan sendok padaku, wah tak ada bantahan lagi darinya.

Yang benar saja, sop ini panas sekali padahal sudah ditiup tapi masih panas sekali, lidahku kelu banget.

"Fahri panas," pekikku aku menjulurkan lidah dan mengipasnya dengan tangan.

Fahri segera mengambil air dan memberikannya padaku. "Ini, aku sudah bilang sop ini pamas masih ngotot, mampus kan."

Aku menatapnya kesal sembari meneguk air, agak mendingan walaupun masih sedikit kelu. Fahri melepas celemek-nya mengantar sop ke ruang makan.

"Tapi sopnya enak" gumamku tersenyum.

***

Salam Literasi

Di usahakan buat up maaf:v

Double up wkwk

Tinggalkan vote dan komen supaya author lebih semangat lg 😗🔥

I, You and HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang