My enemy

26 6 3
                                    

Haina pov

Aku duduk di samping mama yang sedang duduk di kursi taman. Mama benar-benar wanita yang anggun, sedang baca majalah saja masih terlihat sangat menawan.

"Ma, ada apa?" Tanyaku gugup, mama tadi menyuruhku untuk menemuinya di taman samping rumah, disana terdapat dua kolam renang.

Mama menatapku sekejap, kemudian menaruh majalahnya di atas meja. Ia menatapku bagaikan tatapan elang.

"Tadi pas di sekolah, kenapa asma kamu kambuh lagi?" Pertanyaan itu benar-benar membuat jantungku berdetak kencang. Mama kan paling sensi kalau masalah penyakit.

"I-itu, aku juga nggak tau kenapa," jawabku gugup. Aku menunduk dalam, "Aku hanya lupa bawa inhaler tadi."

Mama menghela napas berat, sedetik kemudian ia mulai nyerocos panjang lebar, aku sih ngangguk-ngangguk aja.

"Makanya mama pindahin kamu ke sana, karena disana ada Reza sama Fahri, dan yang milih kelas itu mama, biar kamu sekelas dengan Fahri."

"Mama, bener kan dugaanku. Aku nggak mau sekelas sama si triplek itu ma," rengekku, kali ini aku yang balik marah ke mama.

"Sebenarnya mau mama samain kelas kamu dengan Reza, tapi kalian kan, beda jurusan. Udah ah, terima aja." Mama pergi berlalu begitu saja.

Ih bete, kesal banget sama mama, aku kan bisa jaga diri, lagian udah besar juga, masa sih terus-terusan sekelas sama si triplek. Cukup sampai SMP aja.

Reza tiba-tiba datang dengan mulut yang penuh dengan snack, ia duduk di sebelahku sambil tertawa terbahak-bahak. Kebiasaan lihat saudara kembarnya menderita dia malah ketawa, dasar saudara laknat.

"Sana... Ih kesel, sana..." aku mendorongnya pergi.

"Hak anda mengusir saya apa?" Nadanya ngejek banget lagi.

"Aku duluan yang duduk disini, sana-sana..." usirku kembali.

Reza menggeleng, kampret si Reza, lagi-lagi aku yang ngalah. Mana tadi dia nggak ada pas aku pingsan di sekolah.

"Kembaran gk bisa diuntung, adeknya pingsan dia aja nggak dateng." Sindirku pelan banget.

"Siapa bilang aku nggak dateng? Aku dateng kali," ternyata nih mulut suaranya gede banget.

"Kapan? Disana cuman ada triplek doang," Reza menjitakku, resek baget mana sakit lagi.

"Nyusahin ih... Aku dateng terus keluar dan minta bantuan si triplekmu itu karena ada rapat osis. Oh iya, aku lupa saudaraku ini kan nggak tahu kalau abangnya ini ketos," katanya percaya diri. Ketua osis doang kok di pamerin, aku dulu ketua girls bar-bar aja nggak segitunya (organisasi yang aku bangun sendiri waktu di sekolah lama, tanpa persetujuan sekolah sih ckck).

Malas ih ngeladeni nih anak, aku akhirnya mengalah dan pergi.

***

"Kamu bawa motor atau kesambet setan, sih?" Tanyaku melepas helm dan menaruhnya di atas motor Reza.

Bagaimana aku tidak kesal, di sepanjang perjalanan tuh orang bawa motor kayak dikejar setan, lajunya minta ampun, berantakan nih rambut.

"Kalau nggak mau, bilang sama mama biar pak Tam yang ngantar ke sekolah," jawabnya berlalu pergi.

Aku menutup mataku sebentar kemudian berjalan melewati koridor, sengaja sih jalannya anggun-anggun gitu, biar terlihat kece aja. Bener aja, nggak di sekolah lama, nggak di sekolah baru banyak yang lihatinnya serius-serius gitu.

Jalan tomboi, mustahil.

Jalan biasa, nggak enak.

Lari, nanti sesak.

Ah serba salah.

Saat masuk ke dalam kelas, aku kaget melihat kak Bintang duduk di atas mejaku. Ia tersenyum manis saat aku mendekatinya, kak Bintang... Kamu manis banget ih.

"Kak Bintang," panggilku salah tingkah.

"Terima kasih ya udah save back nomor aku tadi malam,"

Aku makin salah tingkah ketika teman-temanku berteriak histeris, pagi-pagi udah jadi tontonan hangat lagi.

"Pulang sekolah aku tunggu di depan kelas, ya. Kita jalan," astaga, kata-kata itu buat aku terbang seketika, untung aja nggak ada sayap.

Aku mengangguk mengerti, sebelum keluar, kak Bintang mengacak ujung rambutku. Dadaku sesak banget sekarang, denyut jantungku juga berdetak kencang. Aku duduk sembari menarik napas pelan dan menghembuskannya kasar.

"Tante bilang, lain kali jangan ditinggal," Fahri tiba-tiba datang meletakkan inhaler tanpa sembunyi-sembunyi terus duduk dibangkunya. Resek ih Fahri, aku setengah mati sembunyiin nih barang.

"Apaan tuh, Haina? Kok kayak inhaler?" Fanista tiba-tiba muncul dari belakangku, nah kan mulai kepo nih anak.

"Tadi itu, botol air, lucu kan?" Kataku nyengir kuda.

Fanista tersenyum licik, tidak bisa dielak lagi, jelas dia udah lihat tuh barang. Aku memberitahunya agar diam-diam, malas kalau ada yang tahu penyakitku. Ntar, ada yang pura-pura perhatian atau mau cari muka, hilih basi.

"Oh iya, nomor kak Bintang udah kamu save nggak?" Tanya Fanista semangat.

Aku mengangguk, beberapa hari yang lalu kebetulan kak Bintang tes aku di Wa, terus ngajak jalan, tapi karena aku belum siap ya nggak jadi deh.

"Minta dong..." Fanista menyodorkan ponselnya di depanku.

Sepertinya ada yang bakal jadi penikung nih, tapi nggak papa deh daripada dia nyebarin kalo aku bengek (bahasa melayu yang artinya sesak) kan jadi panjang urusannya.

Senangnya minta ampun, setelah dapet tuh nomor pakai dipamerin segala lagi ke teman-teman yang lain. Mampus, bisa-bisa aku kena marah sama kak Bintang gegara nomornya di kasi ke orang lain tnpa izin.

"Ayo siapa mau, lima ribuan..."

Gila si Fanista, dia kira itu gorengan apa? Heran, bukannya diem-diem malah diumbar.

Aku bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Mati aku kalau kak Bintang tahu nomornya dijual Fanista tanpa seizinnya.

"Ini karena si triplek itu sih, coba saja dia letakin nih barang di dalam kantong hitam kan nggak nampak." Gerutuku dalam hati sambil memanyunkan bibir.

Tak lama kemudian, bu Reni guru mapel matematikaku datang dengan anggunnya, seperti yang aku lihat sih. Tapi kata anak kelas sini, tuh guru killer banget.

"Kenapa papan tulis belum dihapus?" Tanya bu Reni membuat kami yang berada di kelas seolah-olah jadi tersangka.

"Wah bener, ternyata tampang nggak jamin dalemnya," batinku.

"Siapa yang piket?" Tanya bu Reni membuat jantung kami hampir berhenti berdetak, nggak juga sih hehe.

"Haina, kamu tadi ada piket nggak?" Tanya Fanista menepuk bahuku.

"Hah?! Oh iya... Aku lupa hari ini kena jadwal piket, mampus aku." Batinku.

Aku sedikit membukukkan tubuhku agar orang-orang tidak sadar jika aku belum piket tadi.

"Fahri, kamu ketua kelas, kan? Tadi siapa temanmu yang belum piket?" Tanya bu Reni.

Gawat, pakai tanya si triplek. Mati aku, pasti tadi dia denger pembicaraan aku sama Fanista.

"Haina, bu. Sepertinya dia lupa kalau hari ini jadwal piketnya," jelas Fahri dengan WATADOS. Gila nih anak, nggak ada hatinya apa? Aku kan asma, masa disuruh bersih-bersih.

"Haina, oh anak baru itu ya? Kamu hapus papan tulis, ibu maafkan karena masih baru." Ya allah, bu Reni baik banget... Nggak kayak si triplek itu.

Sebelum maju ke depan, aku menjulurkan lidah ke depan Fahri... Siala* mau nyebak-nyebak orang, aku pasti menang dong.

Salam literasi

Jangan lupa vote & komen yaa...

Update setiap harii, baca terus yaa gaes, dijamin seru kok:v

I, You and HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang