Kentut

25 4 2
                                    

Haina pov

Upss mau keluar ambil makanan tapi takut tiba-tiba buang angin. Sejarahnya kalau aku udah itu, pasti pengennya buang angin terus, malu banget kalau tiba-tiba keluar apalagi di depan si tripek.

Makanan yang dibeli Fahri kemarin sudah ludes, berat badanku juga selalu naik kalau kondisinya lagi begini. Mana perut ngeri terus dari kemarin.

Puutt

Anj*r keluar dong... Astagfirullah, aku cepat-cepat melirik ke kiri dan ke kanan. Untung tak ada siapa-siapa di dapur, soalnya masih pagi sekali.

Puutt

Aku menghentakkan kakiku, sebel banget. Pagi-pagi udah mandi gara-gara sakit perut, tadi malam nggak makan lagi, mau ngisi tapi takut si cowok dua itu denger suara kentut.

"Fahri" suara Reza sontak membuatku kaget. Entah mengapa si Fahri juga kaget saat aku melihat ke arahnya.

"Apa mungkin dia dari tadi disana?" Tanyaku dalam hati.

"Eh Haina, tumben pagi-pagi udah siap?" Tanya Reza tersenyum kecut, dia sudah siap dengan baju seragamnya.

"A-apa? Terserah aku dong mau kapan." Lah aku jawabnya jadi gagap begini astaga.

"Biasa aja kali, kamu kenapa sih? Dari kemarin aneh banget, makan malam minta bibi antar ke kamar, biasanya juga makan di luar." Sering... Pertengkaran kita berdua sering terjadi pas di meja bundar, maksudnya meja makan.

"Bisa nggak sih sehari nggak usah ngajak berantem," bete banget kalau dia udah mulai.

"Iya kembaran" jawabnya dibuat-buat manja gitu.

Aku duduk sembari mengunyah makanan yang ada di atas meja, kali ini bukan Fahri yang masak.

"Aku mau duluan berangkat, kamu sama Fahri aja ya. Buru-buru nih," tegasnya setelah ia melihat ponselnya barusan.

"Pasti rapat" sindirku.

Ia mengangguk lalu tersenyum lebar, dih kayak joker. "Tahu banget dah."

Mataku beralih pada Fahri yang sudah duduk di hadapanku, ih mana perutku makin sakit lagi. Takut banget keceplosan, eh keluar tiba-tiba.

"Aku naik taxi online aja" kataku cepat-cepat menghabiskan susu cokelat.

"Hmm" gumam Fahri tanpa menoleh sedikit pun. Sepertinya roti isi yang dibuat bibi lebih memggoda daripada aku.

Aku mengangkat kedua alis, gitu doang? Biasanya tuh anak bakalan marah kalau aku nggak nurutin katanya.

Cepat-cepat aku keluar rumah dan memesan taxi online. Bahagia banget rasanya. Tak lama kemudian, taxi yang kupesan akhirnya datang.

"Atas nama neng Haina?" Tanya sopir taxi itu tersenyum.

Aku mengangguk, lalu masuk ke dalam mobil. What?! Kapan nih bocah ada disini?

Aku terkejut saat Fahri duduk di sampingku dan membantuku memasang sabuk pengaman.

"Hei, motormu kemana? Sana ih." Usirku mendorong pelan tubuhnya.

"Coba lihat keluar dulu." Aku membuka kaca dan melihat keluar. Rintik-rintik hujan mulai membasahi jalan.

"Kan bisa pakai mantel," cetusku.

"Aku lupa naruhnya dimana" dalihnya dengan wajah yang datar bak wajah baby face-nya itu.

"Argh, up too you." Kataku akhirnya.

Di dalam mobil hanya terdengar suara musik terkenal One Direction yang berjudul Perfect serta rintikan hujan yang membasahi badan mobil taxi.

Cukup tenang, tidak ada yang bersura selain musik dan hujan serta deru mesin yang beradu.

"Neng, aden, udah sampai. Gimana nih, hujan? Bapak nggak ada bawa payung." Jelas bapak itu, sebelumnya aku membayar uang taxi kami berdua.

"Aku bisa bayar sendiri," gerutu Fahri.

"Nggak!"

Aku langsung keluar dari mobil tanpa mengambil uang kembalian, padahal uang kembaliannya buat aku jajan nanti.

"Ah, gengsi kadang tak menyenangkan." Pikirku.

Dari belakang si Fahri juga ikut berlari, eits aku nggak kepedean, dia bukan kejar aku, tapi karena hujan jadi larinya sama-sama deh.

"Ini uang kembaliannya," kilah Fahri memberikanku segenggam uang, ada yang receh-receh lagi.

Aku duduk sebentar di tempat tunggu, kebetulan disana ada kursi panjang.

Puutt

Aku kaget, sumpah demi apa kaget banget. Nih angin keluar tiba-tiba di waktu yang nggak tepat banget.

Puutt

Lagi...

Sontak aku melihat ke sekeliling, tepat di sampingku ada si triplek berdiri mengibas rambutnya yang basah.

"Dengar apa nggak?" Tanyaku dalam hati.

Gelisah banget, dari mukanya sih kayaknya si Fahri nggak dengar apa-apa.

Puutt

Kali ini aku nggak tahan lagi, makin ngelunjak bunyi anginnya. Didiemin makin besar bunyinya.

"Jorok," satu kata yang keluar dari mulut Fahri membuatku terdiam kaku.

Jorok?

Astaga, malu banget!

"Udah tahu buang angin, bukannya pergi malah tetep duduk." Sindirnya.

Ya allah ngena banget, mukaku mau ditaruh dimana kalau udah kayak gini ceritanya.

"Fahriiii" pekikku memukul lengannya.

Malu bat astaghfirullah, kentut... Kalau udah keluar enak banget, tapi nggak tahu situasi kapan harus keluar.

Fahri melirikku aneh, iya aku tahu aku salah, buang angin sembarangan. Tapi, jangan ditegur kenapa.

"Jangan ditegur!" Bisikku.

"Nggak sopan." Sambar Fahri.

Lah dengar pula nih si triplek, aku meliriknya dari atas hingga ke bawah. Kebetulan jam masuk masih lama.

"Kenapa?" Tanya Fahri.

Aku menggeleng cepat, lebih baik aku pergi sebelum angin gaada akhlak keluar tiba-tiba.

Masih terpikirkan sama kata Fahri tadi, coba saja dia nggak negur, pura-pura nggak tahu, pura-pura tuli seperti biasanya.

Mau ketemu mukanya aja muak, tapi apa boleh buat kita sehati, et dah maksudnya sekelas.

Besok sudah ada ancang-ancang nih bakal nggak masuk sekolah, alasannya sakit. Kebetulan, besok pelajaran matematika jadi pas banget.

Sekarang aja bisa izin sakit ke guru piket dan pulangnya dianter sama si kembaran. Tapi, nggak usahlah perutku sekarang udah agak mendingan, mungkin karena buang angin di depan patung hidup kali wkwk.

Heran banget, beda dari cewek-cewek biasanya yang datang bulan. Bahkan ngerasain sakit aja nggak, sedangkan aku? Kadang masuk ke rumah sakit gara-gara pingsan, nggak tiap bulan sih. Terus pengennya ngemil makanan banyak, disertai mangga muda dan dicolek pakai sambal kacang.

Berhenti Haina.

Kamu nggak ngidam, kan?!

Astaghfirullah otakku, apalagi kalau aku hamil, masa ngidamnya buang angin sih? Kalau mangga muda mah biasa. Tapi nggak deh, jangan sampai. Gila ya, kasihan ntar suamiku ckck.

Setibanya di kelas aku melihat si Fahri sudah duduk manis di bangkunya.

"Kapan jalannya?" Tanyaku dengan suara kecil.

Dih ngeri.

Salam literasi

Jangan lupa vote dan komen yaa:v

Maaf si author agak ngeri kalau dah bahas ginian awokawok 🤣










I, You and HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang