11. Skeletons

752 115 16
                                    

(Ref song : Skeletons by Keshi)

"Stressed out
Feelin' lost and I don't what to do now
What I chose ain't really gonna work out
Fallin' six feet underneath the floor now
Think I'm gonna tap out

Feel bad, go to bed
Wake up even worse, yeah
So sad in my head
Feelin' like a curse
I need medicine, medicine, medicine
All my skeletons out for the taking
I don't even know if I'ma make it
I'm afraid of myself and I hate it
All my skeletons out for the taking
Somebody take 'em"

...

Kelihatannya seperti tiada masalah serius yang menimpa Hoseok dari pandangan orang-orang awam. Senyum ceria yang tercetak apik, efek suara di tiap-tiap kegiatannya, antusiasmenya menceritakan cerita-- bahkan yang sejatinya sudah lebih dari dua kali ia sebarkan. Tak akan ada yang pernah menyangka. Meskipun pernah mengira-ngira, orang awam akan percaya jika Hoseok mampu menemukan solusinya tanpa dipikir terlalu dalam. Orang mengira hanya hidup mereka yang selalu terdera masalah.

Sebenarnya, Hoseok sama saja seperti mereka. Hanya saja ia merasa bukan hal yang baik untuk menyebarkan kesedihan dengan bermuram durja.
Paksaan adalah satu dari sekian banyak hal yang begitu ia benci. Terlahir dari keluarga yang kolot dan tidak mau terbuka dengan dunia yang baru adalah salah satu siksaan perlahan-lahan, seolah sapi yang suka rela dibesarkan hanya untuk disembelih nantinya. Pun Hoseok sadar, meski ia bersikeras mewujudkan apapun impiannya sekarang ini, kelak ia akan dipaksa untuk mengikuti kemauan ayahnya.

Tak pernah ia berharap hari esok akan semakin membaik. Sejak ia membuka mata, jutaan bayang impian terpendamnya, kebebasan akan kehidupannya terjerat dengan peraturan yang sangat memaksa. Bangun tidur, ia merasa semakin buruk saja.

"Hoseok, jangan lupa sepulang sekolah segera berangkat ke bimbingan belajar yang ayah katakan kemarin. Dari rumah akan ayah cek bagaimana perkembanganmu belajar disana, jika cocok bisa diteruskan bimbingan belajar yang dulu, dan juga sekarang. Aku tidak masalah kau pulang malam asalkan untuk hal itu."

Kata ayahnya, yang bahkan enggan menatap wajahnya saat berbicara. Sibuk dengan pekerjaan di laptopnya sembari didampingi sepiring roti dan segelas susu hangat.

Hoseok mengangguk meski ia tahu ayahnya bahkan tak butuh jawaban. Karena ia tahu semua akan berakhir dengan kata iya.

"Aku akan mengawasimu. Jangan sampai aku mendengar lagi kau menari di bawah jembatan bersama anak-anak tak punya masa depan itu. Ayah akan pindahkan kau ke asmara."
Yah, bahkan ia sudah merasa lelah sebelum mencoba.

...

"Kau benar-benar tidak jadi masuk jurusan seni nanti, Hoseok-ah?"
Hoseok tersenyum manis, menggeleng pelan saat Park Jimin tiba-tiba duduk di hadapannya, dan bertanya tentang hal yang -cukup- sensitif di telinganya.

"Tidak, Jimin. Kedokteran adalah jurusan yang terbaik untukku saat ini."

Alis Jimin bertaut, tak suka. "Apa maksudnya? Dilihat dari segi manapun kau sangat cocok menjadi seorang mahasiswa seni dibandingkan menjadi dokter. Jangan berkilat lagi! Yang melihat cocok tidaknya itu orang lain, Jung Hoseok!"

"Tapi untuk kemampuanku hanya akulah yang tahu, Jimin! Kau bahkan bukan kerabatku, jadi jangan seenak sendiri mengaturku!

Jimin terdiam telak. Untuk pertama kalinya Hoseok berbicara sekasar ini. Jimin juga bisa melihat wajah Hoseok yang hampir memerah, entah menahan apa. Pada akhirnya, hubungan mereka merenggang setelah itu.

El CantoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang