Part 17

4.1K 428 24
                                    

"Jadi gimana?" Bright bertanya dengan ragu.

"Gue gak jago akting."

"Jadi lo gak mau?"

"Gimana, ya."

"Win!" teriak seseorang dari arah lain sambil berlari mendekat.

"Oh sorry. Kalian lagi ngomongin hal yang serius, ya?" Ohm membalikkan badannya sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana.

"Enggak kok. Kebetulan banget lo ada di sini jadi gue mau nanya pendapat lo."

"Hah?" Ohm kembali berbalik sambil merasa canggung. "Bukannya Bright lagi nembak lo ya?"

"Apasi kepikiran dari mana jir. Kaga, ini dia minta gue jadi pemeran music video band nya."

"Oh..." Ohm menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal.

"Iya gitu, Ohm. Cuma omongan lo gak ada salahnya juga kok," sahut Bright.

"Hah?"

"Iya soalnya Gue emang ada rencana buat nembak Win."

Ketiganya diam. Ohm tidak terkejut, ia hanya menunduk lalu tersenyum. "Oh rencana yang bagus. Itu kan keputusan lo. Terus Win?" tanya Ohm.
Win hendak membuka suara karena ia pikir Bright hanya sedang membual, tetapi ia urungkan begitu Bright mulai berbicara.

"Jangan ngomong apapun. Gue belum nembak sekarang. Gue tahu Win masih ragu tapi keputusan gue gak bakal berubah. Jadi tunggu sebentar lagi, gue bakal yakinin perasaan lo." Bright menatap Win sambil menyunggingkan senyumnya.

Win balas menatap, rasanya darahnya berdesir cepat dan jantungnya memompa dengan penuh semangat. Ia bahkan bisa menangkap keseriusan dari sorot mata Bright.

"Jadi gimana soal video? Lo kan juga anak teater."

"Oh itu... " Win menengok ke arah Ohm.

"Gue percaya sama lo. Ambil aja, kesempatan gak datang dua kali." Ohm meyakinkan Win.

Win lantas mengangguk, "Oke. Gue terima tawarannya.

"Oh itu. Kalo gitu sampe ketemu besok."

Setelah Bright pergi kini keduanya mulai canggung. Win merasa Ohm tampak sedikit berbeda. Bahkan saat mereka sampai di pinggir danau dan duduk di atas rerumputan, Ohm masih tidak lekas membuka suara.

"Ohm. "

"Win."

"Apasi lo duluan deh," kata Win diselingi tawanya.

"Enggak kok lagian gue gak ada yang mau diomongin."

"Yaudah ayo balik." Win berdiri lalu berniat pergi tetapi Ohm malah menahannya dengan memegang pergelangan tangannya.

"Duduk dulu."

"Lah lo bilang gak ada yang mau lo omongin."

"Tapi gue masih pengen sama lo."

Win kebingungan tapi ia kembali duduk di sebelah Ohm.

"Gimana perasaan lo?"

"Hah?"

"Soal Bright."

"Oh itu–"

"Gak usah bilang dia iseng. Gue juga tau kok dia serius. Jangan bohong sama perasaan lo, Win."

"Gue... Gue bingung Ohm."

"Kalo aja gue seberani Bright."

"Hah?"

"Gue gak pernah bilang ini sama lo. Tapi gue gak pengen nyesel. Jadi harus gue coba, kan?"

Win menoleh dan menatap Ohm yang sedang tersenyum melihat danau.

"Gue udah suka sama lo dari semenjak kita SMP."

"Tapi, kita bahkan udah temenan dari lama. Kenapa lo baru bilang sekarang."

"Gue takut. Gue takut lo benci sama gue karena gue tau lo suka cewek."

"Terus kenapa lo bilang sekarang? Apa menurut lo gue gak bacal benci sama lo kalo elo ngomongnya sekarang?"

"Karena gue udah gak bisa nahan perasaan gue. Tapi gue juga tau kok gue gak bisa egois."

"Kenapa?"

"Ini perasaan gue jadi gue yang bakal ngurusin perasaan gue. Seenggaknya gue udah ngungkapin dan gue bakal ambil konsekuensinya. Kalo gara-gara ini hubungan pertemanan kita jadi canggung. Meskipun sulit, gue bakal bilang kalo gue udah siap nanggung konsekuensinya. Gue juga tau perasaan bukan sesuatu yang timbal balik jadi lo gak wajib buat nerima terus bales perasaan gue."

"Ohm..."

"Hm?"

Win meletakkan telapak tangannya di atas kepala Ohm lalu mengusapnya.

"Mana mungkin gue bakal ninggalin temen kecil gue yang selalu baik banget sama gue. Setiap gue ada masalah, lo selalu ada buat gue. Harusnya gue udah sadar sama perasaan lo dari lama."

Kini keduanya saling menatap satu sama lain.

"Tapi gue gak bisa nerima perasaan lo, Ohm. Perasaan gue ke elo murni persahabatan. Kayak yang elo bilang, perasaan bukan sesuatu semacam timbal balik. Tapi gue berterima kasih sama lo karena udah selalu ada buat gue. Maaf..."

"Hahaha. Gue udah tau kok. Lagian gue juga egois, gue bilang ini ke elo cuma buat menuhin ego gue doang tanpa mikirin gimana posisi lo."

"Enggak kok. Lo gak egois, bahkan demi hubungan kita, lo udah nyimpan perasaan lo dari lama."

"Gue minta maaf," Ohm mulai terisak. Ia sudah tahu akhirnya akan seperti ini, tapi rasanya sakit sekali. Perasaan yang ia simpan sekian lama dan ia menyadari bertepuk sebelah tangan ternyata bisa membuatnya semenyedihkan ini.

Saat itu, untuk pertama kalinya Win melihat Ohm menangis. Ohm yang selalu bertingkah konyol untuk pertama kalinya menangis di dalam dekapannya.

"Maaf..." ucap Win lirih sambil menepuk-nepuk punggung Ohm.

Be With You; BrightWinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang