8

27.4K 4.7K 1.1K
                                    


Untuk membuka part 9 kalian harus memenuhi target 2,2 k vote dan 700 komen.

Asira mengembuskan napas lega saat mobil Elhasiq memasuki halaman rumahnya. Terima kasih Tuhan, Sira akhirnya bebas. Ia sudah siap melompat turun begitu mobil diparkirkan, andai saja tangan Elhasiq tidak langsung menyambar lengannya.

"Aku serius, Sira," ujar lelaki itu.

Asira memejamkan  mata, tidak ingin mengulang lingkaran perdebatan yang sama. Namun, demi Tuhan Yang Maha Kuasa, lelaki itu terlihat serius. Seratus persen serius. "Kita bicarain besok deh, Bang."

"Nggak bisa."

"Kenapa nggak bisa?" Asira berusaha menarik tangannya, tapi Elhasiq mengeratkan pegangan. "Lepas please. Suer, hari ini Sira ngerasa kayak kambing yang berusaha Abang ikat-ikat."

Keluhan Asira berhasil, Elasiq melepaskan tangannya.

"Kita harus bicara dengan Ayah dan Ibumu. Setidaknya Ibumu dulu, karena Paman masih di kampus."

Asira menatap ke arah pintu rumahnya yang tertutup. Sudah sore, sebentar lagi ayahnya pasti pulang. Namun, langit yang mendung diiringi gerimis kecil, membuat suasana lebih gelap dari seharusnya. Pada saat biasa, ibunya pasti sedang menyapu atau menyiram tanaman di halaman rumah mereka.

"Sira ...."

"Apa sih, Bang?" Asira bersyukur tidak terdengar membentak. Kepalanya terasa sangat penuh dan desakan Elhasiq membuatnya merasa siap meledak.

"Kita harus bicara dengan orang tuamu," ulang lelaki itu. Tamoak berusaha menyabarkan diri.

"Buat apa?"

"Membicarakan apa yang kita lakukan."

"Apa yang Abang lakukan, karena kalau-kalau Abang lupa, Sira sama sekali nggak keberatan buat mengingatkannya."

"Yakin nggak keberatan?"

Wajah Asira langsung terasa terbakar. Bukan itu maksudnya, tapi Elhasiq malah menarik kesimpulan sesuka hati. "Bu-bukan ngulangin lagi maksud Sira. Ta-tapi ...."

"Iya, aku tahu." Elhasiq tersenyum kecil melihat kegugupan mantan kekasihnya itu. "Karena itu aku ingin bicara dengan orang tuamu."

"Ya ampun ...!" Asira berseru dengan lelah. "Terus Abang pikir itu nggak akan menimbulkan masalah lebih dari rasa bersalah Abang sekarang?"

"Nggak."

"Abang!"

"Aku ingin menikahimu, Sira." Tidak ada sedikitpun keraguan dalam suata Elhasiq. "Aku mau kamu menjadi Istriku."

Seharusnya Asira merasa tersanjung dengan jantung jumplitan. Namun, ia malah menyipitkan mata, menahan diri untuk berdecak. "Wow ... Sira baru tahu kalau rasa tanggung jawab bisa bikin Abang mengambil keputusan nekat." Asira menatap Elhasiq dengan pandangan pura-pura menyelidik. "Jangan-jangan dulu Abang nikahin Faatin  juga buat nebus rasa bersalah ya?"

Sesuatu yang keras dan terlihat seperti luka melintas di mata cokelat tua Elhasiq, sebelum lelaki itu berkedip dan mampu menutupinya dengan baik. "Ini bukan keputusan nekat, dan jangan bawa-bawa dia di sini."

Asira menggigit bibir, tahu telah melewati batas. Namun, tetap saja ekspresi Elhasiq yang menegurnya karena Faatin, menimbulkan panas di hati Asira. "Maaf," ujarnya pelan, membuang muka dan gagal menunjukkan ketulusan.

"Aku tidak ingin kamu minta maaf. Aku mau kamu menyetujui usulku."

"Bang ...!"

"Dengar, Sira. Terlepas dari apa yang kita lakukan tadi, aku memang ingin menikahimu ...." Sejak dulu. Elhasiq membiarkan gigi atas dan bahwahnya beradu.

Langit Merah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang