17

18.7K 3.9K 326
                                    


Asira menunaikan apa yang diucapkan pada Kanjang Papi Riyadi. Ia membuka kulkas, mengambil botol air dingin lalu meletakkan di pipi. "Ademmm ...." Gadis itu mendesah puas merasakan embun di botol dan hawa dingin dari kulkas.

"Anak ini, bukannya Ayah tadi suruh mandi? Malah diam di sini?"

Asira bergeming tetap memejamkan mata, mengabikan Kanjeng Mami Anitasari yang kini sudah berdiri di dekatnya.

"Mau bolu nggak?"

Asira langsung membuka mata. Mendengar kata bolu kini bisa membuatnya senewen. "Ibu di kasi siapa?" tanya Asira dengan curiga.

"Buatlah. Emang siapa yang mau ngasi?"

"Ya siapa tahu anak Pak RW."

"Anak Pak RW. Kamu ngomong apa sih?"

Asira menggeleng-geleng,  berusaha menyingkirkan pikiran melantur di kepalanya. "Anak Pak RW kan pintar buat bolu, Bu."

"Oh, si Armita?"

"Ho'oh."

"Dia nggak pernah tuh bagi-bagi bolu buat tetangga."

Keterangan dari ibunya membuat Asira ingin berdecih. Nah, kan terbukti itu mahkluk lagi modus, suara jahat bergema dalam diri Asira. Ia tidak pernah memiliki masalah dengan Armita, meski tahu bahwa sejak dulu gadis itu pernah naksir Elhasiq. Rupanya dia mulai tancap gas.

"Kenapa wajah kamu begitu?"

"Eh, kenapa emangnya?"

"Ekspresimu kayak orang licik di tivi-tivi, Nak."

Asira mengerjap, dan baru sadar bahwa semenjak tadi ia menyeringai dengan mata disipitkan. Ia langsung memegang dada, mulai berakting terluka mendengar ucapan sang Ibu. "Jahara banget sih jadi Umi."

Kanjeng Mami Anitasari mendesah, lebih memilih menutup kulkas ketimbang meladeni sikap mendramatisir putrinya. "Minumnya sambil duduk. Pakai gelas. Itu Ibu sudah taruhin gelas di meja."

Asira  memiringkan badan dan melihat gelas di meja makan. "Duh, Sira sayang Ibu. Baik banget sih."

"Kamu memang harus sayang Ibu, karena kalu nggak, kamu durhaka."

Asira terkekeh mendengar jawaban ibunya. " Benar juga, kalo gitu, sini Sira cium. Sini Ibu ...."

"Nggak ... nggak. Mandi sana. Anak gadis bau begitu."

"Cium sekaliii aja."

"Nggak mau, mandi sana."

"Di pelit. Kompakan tuh sama yang buncit di luar."

"Biarin."

"Pokoknya Ayah sama Ibu emang sepaket!"

Kanjeng Mami Anitasari tidak mempedulikam ocehan Asira. Ia mengambil kue bolu di dalam lemari. "Mau nggak?"

"Nggak. Sira maunya emping belinjo!"

"Biasanya kamu suka banget bolu. Ini bolu cokelat lho."

"Pokoknya Sira mau emping." Sebagai anak tunggal, Asira dengan mudah bisa mengutarakan makanan yang diinginkan untuk dibuatkan.

"Ya udah nanti beli deh di alfa****."

"Kenapa nggak Ibu buatin?"

"Karena Ibu udah buat bolu. Siapa suruh jadi anak udah gede masih milih-milih makanan."

"Ibu ... tega!"

"Udah, nggak usah merengek. Sana mandi. Ibu tunggu sama Ayah di ruang tengah."

Asira hanya mampu mengembuskan napas melihat ibunya meninggalkan dapur. Ia lantas duduk di kursi meja makan. Membuka tutup botol lalu menuang air di gelas yang sudah disediakan sang Ibu. Tangan kiri Asira digunakan membuka aplikasi facebook di ponselnya. Gadis itu memang sengaja membedakan kehidupan pribadi dan dunai kepenulisannya. Aplikasi facebook adalah satu-satunya media sosial yang menghubungkan dirinya dengan kerabat serta teman di dunia nyata.

Langit Merah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang