Inak apdetnya kemalaman ya? Abis ini ajang pelarian. Hehe. Lagi nungguin Kanjeng Ratu yang lagi dapet rahmat Allah. Jadi ... dari pada Inak bengong kek orang bloon terus kesambet penghuni rumah, mending update, wkwkwkkw.
Ya sodari-sodari, Inak masih bangun sendiri. Beruntung Inak sama penghuni rumah Kanjeng Mami udah kompromi. Jadi, mereka dengan baik hati nggak menampakkan diri. Wkwkwkw padahal sama yang lain ganas. Wkwkwk. Maaf ya curcol, biasa jam segini otak mulai oleng.
Asira pulang dengan perasaan masam. Ia hampir membanting pintu rumah andai saja tidak melihat Kanjeng Papi yang kini mengamatinya dari ruang tengah. Gadis itu segera meletakkan laptop di lemari ruang tengah, sengkan ponselnya tetap menghuni kantung celana.
"Nak, salam dulu. Masak pulang-pulang mukanya seperti habis perang?"
Asira menelan gumpalan kesal lalu segera menuju sofa tempat Kanjeng Papi Riyadi sedang menikmati teh ubi goreng favoritnya. "Assalammu'ailaikum, abi."
Pak Riyadi yang sudah hapal dan pasrah dengan tingkah absurd putrinya, hanya membalas salam dan memejamkan mata saat Asira mendaratkan kecupan di kepalanya yang mulai kehilangan rambut. "Panggilan buat Ayah ganti lagi ya?" tanyanya yang sedikit mengaduh saat sang putri memeluknya terlalu erat.
"Iya, kan biar nggak monoton. Masa dari Sira lahir sampai gede begini, manggilnya 'ayah' doang." Asira tahu bahwa Ayahnya pasti akan pasrah. "Badan Ayah bau keringat. Belum mandi ya?" tanya Asira yang mulai mengendus-endus.
"Enak saja. Ayah harum begini. Kamu itu yang belum mandi."
"Emang. Hehe. Tadi kan Sira habis halan-halan."
"Halan-halan?"
"Jalan-jalan, Yah." Asira sudah merecoki orang tuanya dengan bahasa plesetan. Hubungan mereka yang akrab--tapi tidak melewati batas kesopanan-- membuat Asira nyaman.
"Kemana?"
"Ke taman komplek."
"Sekalian nulis?"
"Ho'oh."
"Udah jadi tulisannya."
Asira mengela napas, mengingat imajinasinya yang ambyar ketika Bi Nana datang. "Belum."
"Oh, lanjutinnya nanti saja. Sekarang mandi sana. Jangan langsung peluk-peluk."
"Ih, pelit. Ntar kalau Sira udah nikah, nggak ada yang peluk Ayah."
"Kan ada Ibu."
"Ganjen. Ayah ganjen!" Asira mencubit perut buncit ayahnya yang kimpni terpingkal-pingkal.
"Tapi tumben kamu bahas nikah-nikahan?"
"Kan kalau, Yah."
"Iya, tapi kenapa?"
Asira hampir mengerang. Ia juga tidak tahu kenapa tiba-tiba mengucapkan hal itu. Pernikahan salah satu topik yang sangat ia hindari, terutama saat bersama orang tuanya. "Nggak kenapa-kenapa."
"Nak ...."
Kali ini Asira benar-benar meringis. Ia lupa betapa kritis ayahnya. "Kan Sira emang suatu saat bakal nikah, Yah." Asira merinding sendiri karena jawaban yang diberikan.
"Amin."
"Nah, jadi begitu."
"Begitu?"
"Iya, begitu."
"Hanya itu?"
"Ayah ...."
"Apa ...."
Asira cemberut karena ayahnya menirukan suara yang dikeluarkan. "Itu cuma ucapan spontan, Ayah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Merah Muda
ChickLitDALAM PROSES PENERBITA (SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS) Kata ibunya, saat jatuh cinta, bahkan langitpun bisa berubah menjadi merah muda. Namun, tentu saja itu tetap menjadi bualan bagi Asira. Karena saat ia menyadari telah jatuh cinta pada Elhasiq--ker...