Aku memandang bosan ke papan tulis, sekarang masih pelajaran Kimia. Aku tak berani menoleh, tak berani bergerak. Bukan karena Mr. Watson. Ada yang lebih bahaya, Alexander Matteo. Dia selalu duduk di belakangku, karena Mr. Watson sialan. Maaf saja, walau aku ini harus sempurna di semua pelajaran tetap saja Mr. Watson ini menyebalakan.
Aku menggerakan leherku ke kanan dan kiri, benar-benar pegal.
"Ternyata seorang murid jenius sepertimu bisa merasa lelah juga ya?" Suara itu dari belakang, dari Alex. Sialan, aku sekarang benar-benar kaku. Aku mendengarnya terkekeh, "Aku kira kau itu sejenis robot."
Aku hanya mengangguk dan menggeleng, benar-benar tidak jelas. Seharusnya dia tak berbicara padaku.
"Baiklah, jangan lupa mengerjakan tugas untuk minggu depan," ucap Mr. Watson setelah membereskan buku-buku tebalnya.
"Kau tidak pernah bicara? Atau tidak bisa bicara?" Alex tiba-tiba berada di sampingku. Apa-apaan ini?
"Hei, Chelsea. Bicara lah," katanya sambil menarik kuncir rambutku. Aku mendengus, "Apa masalahmu sebenarnya, Alexander Matteo?"
Alex tak menjawab, hanya terdiam dan menatapku tak percaya. Aku hanya mengernyit, dasar aneh. Tapi aku menyukainya sih.
"A ..."
"Sayang! Kenapa masih disini? Dan ... kamu ngapain disini? Stay away from my boyfriend," Karen menatapku tak suka dan mengusirku dengan tangannya. Aku hanya menghela napas dan meraih tasku juga buku-bukuku.
Cukup. Aku tak perlu melihat opera sabun sialan itu. Tuhan, rasanya aku ingin tuli agar tak mendengar desahan dari mereka. Sabar, Chelsea. Sabar.
* * *
Ciee, cemburu ciheeyyy