Kejadian malam itu benar-benar membuatku terpukul. Kenyataan yang harus kuterima amatlah berat. Ayahku, orang yang berjasa di hidupku, siapa sangka ia harus mati ditangan orang yang kucintai.
Hari ini adalah hari pemakaman ayahku. Semua keluarga dan kerabat berdatangan menyampaikan bela sungkawa. Banyak yang masih tidak bisa percaya bahwa seorang Toichi Kuroba akan pergi secepat ini, dengan cara yang mengenaskan.
"Bagaimana ini bisa terjadi? Kami langsung bergegas kembali setelah mendengar kabar ini! Apa kau baik-baik saja? Tidak ada luka kan?"
Ah, itu ibunya Saguru, dia dan suaminya baru datang siang ini. Kemarin mereka tidak ada di istana Sharon, rupanya sejak awal mereka memang pergi untuk mengurus kepentingan usaha mereka sendiri ke Kyoto.
"A-aku baik-baik saja. Kecelakaan yang dialami Toichi ini kecelakaan tunggal.." ibuku menjelaskan -keterangan palsu- dengan menahan isak tangisnya.
"Bagaimana bisa? Bukannya kalian pergi bersama kemarin?" tanya ayah Saguru.
"I-iya.. Tapi dia pergi lagi setelah mengantarku pulang, dia.. dia tidak bilang akan pergi kemana. Tiba-tiba.. tiba-tiba polisi menelepon ke rumah.. dan bilang kalau Toichi.."
"Ah sudah Chikage, jangan ceritakan lebih jauh lagi." ibu Saguru berusaha menenangkan ibuku dengan memeluknya erat. Ibuku menangis di pelukannya.
"Kaito."
Seseorang memanggilku. Saat menoleh ke belakang, ternyata itu Saguru.
"Ada apa?"
"Ibumu menangis di pelukan ibuku. Bukankah seharusnya dia menangis dalam pelukanmu? Kau kan anaknya."
Ah, sial. Saguru benar-benar mengucapkan hal yang sedari tadi kupikirkan. Aku memang anak yang tidak berguna.
"Yaah.. Mau bagaimana lagi, sudah terjadi."
"Aku hanya bercanda, tolong jangan dimasukkan ke hati. Ngomong-ngomong, apa kau sudah menemui Shinichi?"
Shinichi?
"Ah, belum, aku menunggunya tapi dia tak kunjung datang. Apa kau tau dimana dia?"
-----
Saguru bilang Shinichi masih mengunci diri di kamarnya. Dia bilang dia tidak mau ikut ke pemakaman ayahku, rasanya pasti berat.
"Shinichi?"
Ya, aku kembali ke rumah. Membawa mobil ibuku secara diam-diam. Lagipula lokasi pemakaman dengan rumah kami tidak terlalu jauh, jadi bisa kembali secepat mungkin.
"Shinichi??"
Aku terus memanggil Shinichi, tapi tak kunjung ada jawaban. Pintu juga sudah kuketuk berulang kali, namun tetap saja tak ada respon dari dalam. Akhirnya aku terpaksa untuk mencoba membuka pintu kamarnya.
Eh? Tidak dikunci?
"Shini—chi..?"
Shinichi berdiri di depan cermin kamarnya, sudah rapi memakai setelan jas. Bahkan ada buket bunga tergeletak di meja samping cerminnya itu. Dia menoleh. Wajahnya sangat pucat dan tanpa ekspresi, namun ada air mata mengalir.
"Kau.. Baik-baik saja, kan, Shinichi?"
Dia hanya terdiam dan menundukkan kepalanya. Ini tidak seperti Shinichi. Ini bukan Shinichi yang kukenal.
"Sudahlah Shinichi, semuanya sudah terjadi."
"Maafkan aku, Kaito. Maaf.."
Kali ini dia bicara, dengan menahan isakan tangisnya. Aku tidak terbiasa melihat Shinichi menangis. Itu hanya akan membuat dadaku semakin sesak. Kehilangan sosok ayah, ditambah melihat orang yang kucintai menangis seperti ini benar-benar membuatku jatuh ke titik lemahku.
Tapi, aku harus kuat. Jika diriku ini ikut jatuh, siapa yang akan menenangkan ibuku? Siapa yang akan meyakinkan Shinichi bahwa dia tidak bersalah?
"Tidak apa, Shinichi. Tidak apa."
Kali ini Shinichi membiarkanku memeluk erat dirinya. Tangisannya semakin menjadi dan lebih lepas. Kakinya pun melemah dan membuatku harus menopang tubuhnya, secara seutuhnya. Namun akhirnya kami duduk tersungkur di lantai, memeluk dan menenangkan satu sama lain.
Mungkin kedengarannya gila, tapi memang inilah kenyataannya. Shinichi lah yang telah membunuh ayahku. Tapi bukan atas keinginan dirinya. Semuanya tak lain dan tak bukan adalah ulah Sharon.
Sharon, yang entah atas dasar apa, memaksa Shinichi untuk menghabisi ayahku. Dia meminta Shinichi untuk menikam kepala ayahku berkali-kali hingga babak belur. Shinichi sudah menolaknya berkali-kali. Bahkan ibuku juga menawarkan dirinya sendiri jika memang harus menghabisi ayahku. Tapi Sharon menolaknya. Akhirnya, mau tidak mau, atas permohonan langsung dari ayahku, Shinichi pun melakukannya.
Skenario kecelakaan tunggal itupun, semua juga ide Sharon. Semuanya, kematian ayahku, seakan-akan seperti sudah dipersiapkan sejak awal. Karena ayah Heiji adalah seorang polisi, ia pun memerintahkan para bawahannya yang paling ia percaya untuk mengikuti skenario ini selama penyelidikan. Sehingga tidak akan ada kecurigaan apapun dalam kecelakaan mobil itu. Skenario palsu ini bisa dibilang berhasil, karena semuanya, bahkan petugas forensik percaya bahwa ini semua murni kecelakaan.
-----
"Apakah semuanya sudah berkumpul?"
"Tunggu, Kaito—"
"Aku disini ibu."
Kami kembali ke pemakaman tepat waktu. Semuanya sudah bersiap untuk penghormatan terakhir. Aku sengaja menggenggam erat bahu Shinichi, aku tidak membiarkannya mengambil jarak yang jauh dariku.
Peti ayah sudah dimasukkan ke dalam tanah. Semuanya memanjatkan doa. Shinichi, tatapannya kosong ke arah peti. Tapi air matanya menggenang.
"Tidak apa-apa, sayang."
Setelah membisikkan kalimat itu, air mata Shinichi pun tumpah. Aku tidak ingin orang-orang menyadarinya, jadi kututup matanya.
Yaa, setidaknya ku berharap tidak ada yang menyadari kami.
-TO BE CONTINUED-

KAMU SEDANG MEMBACA
Handsome but Psycho
Fanfiction[DISCONTINUED] ⚠Warning : shounen ai (bl - not yaoi), ada unsur sadis dan bahasa kasar. 4 Siswa SMA tampan dan pandai ini ternyata adalah pimpinan dari komplotan psikopat yang bernama RED NIGHT. Setelah menjatuhkan pimpinan mereka sebelumnya, mereka...