INSECURITY 9

34 6 1
                                    

"Rasa sakit yang timbul karena terjatuh itu tak seberapa, dibanding tidak memiliki siapa – siapa ketika kita berada di titik terendah." – Anastasya Ilianova.


Terdengar derap langkah sepasang sepatu disekitar lorong sekolah yang mulai sepi. Di sana terlihat seorang gadis dengan rambut ikal bergelombang tengah kesulitan membawa barang bawaanya. Tadi setelah bel pulang sekolah berbunyi, Asya mendapat giliran untuk mengumpulkan tugas Bahasa Indonesia yang kemarin di berikan oleh guru piket Bu Rini.

Dengan susah payah tanganya mencoba tetap bertahan untuk membawa tumpukan buku anak satu kelas beserta buku paketnya. Catat itu. Dengan buku paketnya.

"Sya hari ini lo piket kan? Kayanya gue nggak bisa bantuin deh. Soalnya gue udah ditungguin sama temen – temen mau hangout ke café," kata Ayu teman sekelasnya yang sama – sama kebagian untuk piket hari ini.

"Oh nggak papa kok, kamu pergi aja. Aku bisa sendiri," jawab Asya menenangkan.

"Buku paketnya sekalian dikembaliin ya. Jangan lupa! Ya udah gue duluan. Bye!" pamit Ayu meninggalkan Asya sendiri di dalam kelas yang sudah sepi.

Asya hanya dapat tersenyum mengingat kejadian tadi. Sebenarnya tadi siang ia juga sudah ada janji dengan Indah untuk jalan – jalan bersama. Tapi apa daya janji itu sudah tinggal angan belaka karena gadis itu terhalang oleh jadwal piket. Alhasil ia menyuruh Indah untuk pulang terlebih dahulu tanpa menunggunya.

Dan seperti biasa pula Asya yang akan dijadikan tumbal oleh teman sekelasnya. Disuruh sana – sini, melakukan ini dan itu tanpa rasa bersalah. Terkadang Asya juga merasa lelah dan jenuh, tapi mau bagaimana lagi ia tidak kuasa untuk menolak. Rasa tidak enak hati selalu mendominasi. Gadis itu takut jika teman – temanya akan sebal, bila dirinya tidak mau ataupun menolak perintah mereka.

Mindset yang salah memang. Tapi Asya sudah terbiasa.

"Aduh berat," keluh Asya ditengah jalan. Kedua tanganya sudah mulai kebas karena terlalu lama menahan berat. Langkah kakinya yang tadinya ringan kini mulai melambat diikuti postur tubuhnya yang mulai membungkuk.

GUBRAK!

"Awwwhhhhh sakit..." ringis Asya pelan setelah jatuh tersungkur karena tersandung kakinya sendiri. Buku yang ia bawa juga jatuh berserakan di lantai.

Tatapan mata gadis itu berubah sendu. Dengan berat hati Asya harus menata buku – buku itu lagi sesuai urutan absen. Rasa sakit akibat jatuh itu tak seberapa, yang lebih sakit adalah hatinya karena harus melewati segala sesuatu seorang diri.

Dari arah lain, Bima yang melihat Asya terjatuh langsung berlari menghampiri. Cowok itu masih menggunakan baju taekwondo menandakan dirinya baru saja selesai mengikuti eschool.

"Sya lo nggak papa?" Tanya Bima khawatir. Ia langsung membungkukan badanya untuk membantu Asya memungut buku yang tercecer. Napas cowok itu berderu. Raut mukanya sangat khawatir.

"Hahahah nggak papa," tawa Asya sumbang, mencoba tidak membuat temanya cemas.

"Sini gue bantuin," tawar Bima.

"Ehh, nggak usah Bim kamu langsung pulang aja lagian ini udah sore," kata Asya sungkan. Ia tidak enak bila harus merepotkan Bima.

"Kalo menurut lo ini udah sore kenapa masih di sini?" Tanya Bima geram. "Lo disuruh lagi sama anak kelas?" lanjutnya murka.

"Enggak kok?! Aku sendiri yang nawarin! SUER!" ucap Asya mencoba meyakinkan cowok yang ada di dapanya ini. Jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V tanda berdamai. Bisa berabe kalo sampai Bima tahu, dapat dipastikan keesokan harinya anak kelas akan mendapat omelan panjang dari ketua kelas.

INSECURITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang