INSECURITY 10

34 6 2
                                    

"Be the happiest person." - Anastasya Ilianova.

Pukul setengah lima sore Asya dan Bima baru sampai di depan rumah gadis itu. Selama perjalanan pulang tadi tidak ada bahan pembicaraan diantara mereka, baik Asya maupun Bima sama - sama terdiam dengan kegiatan masing - masing. Bima yang fokus menyetir, sementara Asya yang sibuk melihat pemandangan indah di jalanan.

Hingga keduanya sampai pun belum ada yang berbicara sama sekali. Dengan ragu - ragu Asya mencoba turun dari motor Bima sambil membuka helm yang dipakainya. Memang perasaanya saja atau memang benar, tapi sejak tadi Bima seperti mendiaminya. Entah apa yang sedang ada dipikran cowok itu, yang jelas Bima seperti bukan Bima yang biasanya. Tidak ada obrolan hangat maupun candaan receh khas cowok itu. Semuanya seakan sirna terbawa angin yang berembus kencang menerpa mereka di jalan.

Dengan kikuk Asya memberikan helm yang telah ia lepas barusan kepada Bima. "Bima makasih ya buat tumpanganya," kata Asya mencoba memecah keheningan.

Bima hanya mengangguk sambil menerima helm yang diulurkan gadis itu. Mulutnya masih terkunci rapat, tidak mengucapkan sepatah kata apapun.

Asya yang merasa Bima hanya diam memperhatikanya menjadi canggung sendiri. Tidak tahu harus berbuat apa.

"Bima nggak mau mampir dulu?" tawar Asya.

"Nggak usah udah sore," jawab Bima yang akhirnya bersuara.

"Oh gitu, ya udah sekali lagi makasih ya Bima," kata Asya sambil melambaikan sebelah tanganya. Berniat masuk kedalam rumah terlebih dahulu. Tapi belum sempat dirinya membuka gerbang rumah, salah satu lenganya dicekal oleh Bima pelan­, seakan meminta gadis itu tinggal untuk beberapa saat.

Dengan dahi berkerut Asya pun membalikan badanya kearah cowok itu."Kenapa Bima?"

"Kemarin kenapa Rafael nelfon lo?"

Asya melotot kaget, tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu. Apa yang harus ia katakan? Tidak mungkin ia menceritakan kejadian memalukan di perpus! Tapi masa iya gadis itu harus bohong!

"Kenapa tanya?" kata Asya mencoba mengalihkan topik.

"Emang gue nggak boleh tanya?"

"Nggak penting Bim. Kak Rafael cuman minta maaf, udah gitu aja."

Bima mengernyit tidak mengerti. Minta maaf untuk apa? Setaunya Asya dan Rafael tidak saling kenal. "Minta maaf apaan?" Tuntut cowok itu lebih lanjut. Mencoba mencari informasi lebih dalam kepada lawan bicaranya.

Asya gelagapan, DUH! GIMANA NIH?! Bohong? Nggak? Bohong? Nggak? Bohong?

"Anu... itu Bim...ehm kak Rafael cuman mau bilang makasih sama minta maaf karena ngrepotin aku waktu hari senin kemarin," kata Asya, jelas berbohong. Semenjak kapan Rafael mempunyai salah karena merepotkanya? Bukanya memang tugas gadis itu sebagai PMR untuk menolong orang yang sakit!

Asya memang tidak pandai berbohong! Dalam hati ia menggerutu pelan mendengar alasanya sendiri, takut ketahuan.

Bima yang merasa ada kejanggalan pada temanya itu, memilih untuk memperhatikan tingkah Asya lebih lekat. Tidak mungkinkan sepupunya itu a.k.a Rafael si manusia kulkas repot - repot untuk meminta nomer seorang gadis ketika malam hanya untuk berterimakasih. Pakai ngotot lagi!

Dan satu lagi yang sedari tadi mengganggu pikiranya, Rafael memandang Asya penuh minat. Ya! Jangan pikir Bima tidak tahu akan hal itu. Jelas - jelas di parkiran tadi pandangan mata Rafael selalu tertuju kearah Asya seakan tidak pernah putus. Bahkan ketika teman - teman cowok itu mulai mengganggu gadis itu, dengan senang hati Rafael membantu untuk menjauhnkanya. Bukankah itu aneh? Sepertinya Bima melewatkan sesuatu.

INSECURITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang