Kakiku melangkah beriringan bersama ibu yang terkena jambret tadi. Seperti niat ibu itu, dia ingin meringankan luka memarku. Akhirnya aku dan ibu itupun segera ke rumahnya.
"Nah rumahku di sini nak." Dia menunjuk ke arah rumahnya.
Sederhana tapi mewah itulah gambaran rumah ibu itu. Di halaman depan terdapat garasi dan taman bunga yang berukuran mini.
Dia mengajakku ke dalam rumahnya. Ukiran kata penghargaan dan galeri keluarga, itulah hiasan yang mengisi pada dinding yang berona hijau.
"Nak, silahkan duduk," tawar ibu itu yang mengajakku ke sebuah sofa biru ditemani meja yang berisi bunga mawar beserta penompangnya.
Aku menghempaskan pantat pada sofa yang tersedia. Sedangkan ibu itu kembali pergi untuk membawa perlengkapan pengompresnya.
Aku bangkit dari sandaranku. Terlihat segudang trofi yang memadati bufet, tepatnya berada di sebelah jendela ruangan ini. Aku terkurung dalam lamunan, sambil memandanginya dengan rasa sedikit minder yang mengebu dalam benaku.
"Nak."
Aku terkaget dan terbangun dari lamunanku. Ibu itu kembali sembari membawa perlengkapan pengompresnya. Tanpa berfikir lama, akupun langsung menghampirinya.
"Aku kagum melihat kumpulan trofi itu," ucapku sambil menatap ke arah trofi yang singgah di sana.
Ibu itu hanya menyuguhkan secangkir senyum kepadaku sambil berkata,"Kamu pasti akan mendapatkannya suatu hari nanti."
Akupun kembali melendeh pada sofa tadi. Ibu itu langsung memeras handuk kecil yang ingin dikompreskan padaku.
"Mana tanganmu?" tanya ibu itu.
Akupun langung mengasongkan bagian tanganku yang memar.
"Nama kamu siapa, nak?" tanya ibu itu.
"Aku Senja," jawabku.
"Nama kamu langka," tutur ibu itu.
Aku hanya tersenyum mendengar tuturan yang dia diberikan padaku.
"Rumah kamu di mana?" tanya ibu itu kembali.
Aku hanya menggelengkan kepala.
"Kenapa?"
"Saya sendiri tidak tahu bu," jawabku.
Ibu itu menatap tajam wajahku dan ia tersenyum, lalu berkata,"Ibu ngerti apa yang kau katakan."
"Sebelumnya perkenalkan, namaku Tia, kau boleh memanggilku dengan sebutan bu Tia. Aku seorang guru SD dan terkadang aku mengajar di SMP." Dia memperkenalkan dirinya padaku.
"Kamu pasti tidak sekolah kan?" tanya ibu itu sambil melanjutkan mengompres bagian tangan sebelahnya.
"Saya anak jalanan bu, tidak mungkin sekolah. Untuk makan saja sudah susah, apalagi sekolah," jawabku dengan frustasi.
"Tapi terkadang saya suka belajar beberapa pelajaran bersama teman," sambungku.
"Teman? Apakah dia sekolah?" tanyanya.
"Iya bu, dia anak sekolahan," jawabku.
"Apa cita-citamu?"
"Saya ingin jadi sarjana. Walau itu mustahil, tapi saya akan buktikan bahwa saya bisa." Aku berusaha meyakini diri.
"Hmm begitu. Oiya, selain saya mengajar di sekolah, saya juga sebagai panitia Yayasan Galaksi yang mengurusi anak-anak maupun dewasa untuk ujian paket A, B dan C. Jadi kamu juga bisa mendapatkan ijazah seperti anak sekolah. Kalau kamu mau ikut, aku bisa bantu," tawar ibu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang di Ujung Senja
Ficción GeneralIni bukan cerita cinta ataupun yang berbau romantis. Tapi semoga saja kalian suka dengan cerita ini. Ini adalah cerita tentang seorang gadis jalanan yang selalu ingin menggapai bintangnya. "Aku memang tidak tahu apa makna dan wujud dari cita-cita...