Bagaimana Jika Kita?

24 1 0
                                    

''Dandy... ''  Aku ragu untuk mengutarakan keputusan yang mengganjal di hatiku. 

'' Ya Sayang?" Dandy masuk ke ruang tamu, ia meletakkan kunci sepeda motorku di meja

''Bisa kita bicara?''

''We do..'' jawab Dandy lembut. Aku menghela nafas.

''Okay.. listen to me.. Jadi sekarang.. kita berpacaran.. Right?''

"Tentu saja! Kau ingin yang lain?... menikah?" Jawab Dandy tak terdengar sedang bercanda.

"Ah.. tidak! Bukan.. emm... maksudku..." Aku terbata, Dandy menyimak serius ucapanku.

"Kau tidak mau menikah?" Dandy heran.

"Tentu aku mau, tapi.. Dandy.. apa kau lupa? Kita berbeda." Aku membangun kembali benteng itu. Dandy terdiam.

"Aku tahu itu babe.." Dia sangat tenang.

"Lalu kenapa kau melewatinya?.. bukan, aku tidak bermaksud menyalahkanmu. Aku pun runtuh karena keinginanku bersamamu, tapi.. rasanya aku tidak bisa jika harus meninggalkan keluarga dan caraku hidup selama ini."

"Aku jelas melewatinya dengan penuh resiko, aku tahu itu. Tapi aku tidak menyesalinya. Saat ini aku tidak peduli dengan caramu ataupun caraku hidup selama ini, tapi mungkin kau benar.. tentang keluarga." Entahlah penjelasannya yang tenang itu tampak menyakiti perasaanku, seolah ia memilih keluarganya daripada aku. Aku egois!

"Kita bahkan belum mengenal satu sama lain,," aku mencoba mengusahakan hubungan ini.

"Apa yang ingin kau tahu sayang?" Tanya Dandy masih tenang, seolah ini bukan hal besar.

"Dimana keluargamu?" Tanyaku memulai interogasi ini.

"Aku hidup sendiri, dibesarkan oleh nenek-ku.." Jawab Dandy tanpa ragu.

"Apa yang terjadi?" Aku semakin ingin tahu, siapa cowok kaya ini.

"Ibuku meninggal saat aku berusia lima tahun, ayahku menikah lagi ketika aku berusia delapan tahun. Sejak saat itu aku tinggal dengan nenek-ku dari pihak ayah.Karena ibuku merantau dari luar pulau, sejak aku lahir hingga sekarang..keluarga ibuku tak pernah mencariku dan sebaliknya. Ayahku membangun keluarga barunya, berusaha mengajakku pindah..tapi aku bertahan bersama nenek. Ayahku tetap bertanggung jawab membiayai kami, ibu tiriku baik dan mereka tidak memiliki anak.. karena ibu tiriku sudah melakukan pengangkatan rahim sejak sebelum mereka menikah.. dan sekarang aku tak punya siapapun.. nenekku sudah meninggal ketika aku berusia dua puluh dan ayahku sedang berada di Singapura. Mereka tinggal disana menjalankan bisnis hotel dan impor."

Aku terdiam mendengar cerita Dandy. Ia dibesarkan oleh neneknya, entah aku harus bersimpati atau bangga dengan keadaannya sekarang.

"Apa hubunganmu dengan ayahmu baik?" 

"Ya..kami baik hanya tidak terlalu dekat." Dandy menjawab dengan netral, tanpa kebencian.

Aku hanya menganggukan kepala ku. Entahlah rasanya terlalu jauh dari dalam pikiranku, situasi yang tak akan pernah familiar yang ku rasakan.

"Kau berapa bersaudara?" Tanya Dandy

"Hanya aku dan kakak-ku.. Kakak-ku sudah menikah dan tinggal di kota lain..sama sepertiku."

"Sejujurnya.. aku ingin mengetahui semua tentangmu, jika kau tidak masalah dengan itu.." Rasanya Dandy tak memiliki beban yang rumit sepertiku.

"Tentu saja, apa yang ingin kau tau?" Jawabku berusaha santai

"Bagaimana keluargamu?"

Entahlah apa maksud pertanyaan Dandy, tapi kurasa aku merasa sedikit canggung membahas keluarga kepada anak yang anggota keluarganya tidak lengkap.

"Well.. aku tumbuh di keluarga katolik yang taat, kami pergi misa bersama ketika aku pulang..merayakan natal bersama.. dan baru kali ini aku menjalin hubungan dengan cowok berbeda.." Hanya itu yang ku utarakan ketimbang mengungkapkan sosok ayah atau ibuku.

Dandy tersenyum,

"Akupun sama... jadi apakah ini akan menjadi masalah besar untuk keluargamu? Maksudku apakah mereka akan secara tegas menentang?" Dandy terlihat sedih.

"Entahlah.. aku belum yakin, mengingat seluruh keluargaku di agama yang sama, kakakku menikah dengan keluarga romo.. rasanya mereka tidak memperkirakan akan ada anak gadisnya yang menjalin cinta terlarang, jadi bisa kupastikan mereka akan terkejut" Aku terkekeh membayangkan ekspresi ibuku.

"Lalu.. kau ingin bagaimana?" Dandy menyerah?

"Aku masih berpikir, karena aku belum mendapat jawaban dari mu mengenai cara kita yang berbeda.."

"Ya kau lihat sendiri, di kantor aku melaksanakan ibadahku.. karena itu yang di ajarkan nenekku.. Selama ini aku cukup mengimani dan meyakini agamaku.. jadi rasanya itu sebuah tanggung jawabku kepada Tuhan, dan sudah ketahuan juga kalau aku juga tidak akan dapat masalah dari pihak keluargaku"

"Kau benar, begitu pula aku.. dua puluh lima tahun aku dibesarkan dengan menjadi katolik, aku pun sangat menikmati cara bersyukurku pada Tuhan, jika memang nanti kita harus menikah.. rasanya aku tidak bisa jika aku harus ikut dalam keyakinanmu.." Aku menjawab tanpa ragu, bukan karena aku takut dengan pertentangan dalam keluargaku.Tapi karena aku sendiri pun tak hanya ingin bertahan pada keyakinanku saat ini.

"Itu bagus babe.. kau harus punya pendirian itu.." Dandy terlihat bangga padaku, tapi aku tidak mengerti bagaimana isi pikirannya.

"Sejujurnya aku.. sangat ingin menikmati hari-hari bersamamu.. aku ingin berbagi apapun itu bersamamu.. tapi akupun tak bisa memaksakan jika itu tak membuatmu bahagia bersamaku.." 

"Aku sangat bahagia bersamamu Dandy, tapi bagaimana jika bertahan.. apa akhir dari hubungan kita selanjutnya?"

Dandy menghela nafas, ia terdiam.

"Baiklah, aku akan mengungkapkan perasaanku secara jujur.. lalu selanjutnya kita akan mengambil keputusan terbaik bersama." Dandy bergeser duduk di sampingku.

"Saat ini, aku merasa ada hal yang sangat kurindukan yang baru kusadari setelah bertemu denganmu.. aku tidak memungkiri bahwa sebelum kita bertemu.. aku juga menemui orang lain, namun.. aku tak merasakan hal semacam ini. Aku terlalu berani ketika bersamamu, karena aku tidak ingin orang lain mengambil kesempatan ini." Dandy menjelaskan apa yang ada di pikirannya, aku tak bisa memutuskan apakah ia berkata jujur atau hanyalah perasaan sesaat hanya agar kami bisa bertahan dan melanjutkan.

Tapi apa yang dirasakan Dandy, juga sedang kurasakan. Aku tak pernah seberani ini..ya bertingkah se agresif ini dalam hubungan. Bahkan ketika aku bersama Matius, aku dikenal sebagai cewek manja yang pasif, maksudku aku tak pernah merasa memohon agar Matius menyentuhku atau bahkan berusaha menyerahkan diriku kepadanya. Entahlah.. setan apa yang merasuki-ku, dalam nama Bapa dan putra dan roh kudus..

"Dandy.. aku baru saja memikirkannya. Aku tak pernah merasa se-jalang ini bersama cowok.. terlebih pada orang yang baru ku kenal, dan asal kau tau,, saat ini di pikiranku masih banyak sekali penyangkalan yang menggelutiku. Tapi.. jika boleh aku jujur, aku tak bisa merelakan moment ini bersamamu.." Kuputuskan untuk membuat jembatan itu berdiri.

Dandy merangkulku, ia mengusap kepalaku. Aku merasa nyaman.

"Jika aku boleh memohon, apakah kita bisa melanjutkan hubungan ini? aku tak tahu nanti bagaimana masa depanku, tapi aku ingin terus bersamamu." Suaranya seperti bergetar, tapi aku memutuskan untuk tidak melihat wajahnya. Hatiku terasa panas,pikiranku sangat manusiawi dan tak ingin membayangkan hari esok, aku hanya ingin menjalani hari ini bersamanya. Aku ingin melihatnya setiap hari, ingin dalam pelukannya yang hangat dan nyaman, aku ingin disentuhnya.. aku ingin ia menciumku, aku ingin dia. Hanya itu saat ini.

"Dandy.. mari kita nikmati moment ini tanpa penyesalan.."

Aku merasakan tekanan di kepalaku, ia mengangguk dan merengkuh tubuhku mendekat ke tubuhnya.



JEMBATAN CINTA TERLARANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang