BAB 2 - Zona Nyaman

183 6 2
                                    

Aku berdiri di depan pintu lift sambil sesekali tersenyum kepada tiga orang datang sebelumku. Tak lama kemudian, pintu lift terbuka dan kami masuk kedalam pintu kotak berjalan itu. Semua orang di dalam lift memiliki tujuan lantai yang sama denganku.

Sesampainya di basement ,aku menuju parkiran motor di sisi kiri. Aku mulai men-starter kendaraan matic roda duaku yang sudah mulai butut, dengan menekan tombol starter di stang kiriku..yeaa kami berteman baik selama hampir lima tahun. Anehnya tombol starter tidak langsung berfungsi dengan baik seperti biasanya. Padahal tadi pagi masih berfungsi dengan sekali tekan, aku mengulangi menekan tombol starter otomatisku, tapi yang terdengar hanya suara mendecit lalu mati, ooh tidak! Apa yang salah dengan tombol starter nya? Aku selalu rutin melakukan service di bengkel resmi. Aku mencoba sekali lagi dan dengan galak memutar gas di stang kananku, namun hasilnya tetap nihil. Jangan sekarang please.. mohonku dalam hati, aku tidak bisa menggenjot dengan pedal starter, tidak dengan heels amanda jane's ku ataupun dengan telanjang kaki yang pasti jauh lebih sulit dan bisa saja melukai telapak kakiku. Oh Jesus.

" Katrine " Aku menengok ke arah sumber suara yang memanggilku.

" Kau sedang apa? Kau terlihat... berkeringat.." Dandy mengangkat alisnya.

" Well.. terjadi sesuatu.. motorku tidak bisa di starter " Jelasku pada Dandy sambil menunjuk sepeda motorku. Dengan sigap Dandy mulai memeriksa keadaan matic-ku, ia mencoba menekan starter tapi tetap tidak berhasil. Kemudia ia memutar pedal starter manual dengan kaki kanannya, dan mulai mencoba menggenjot pedal, sekali dua kali, tiga kali dan empat kali matic ku mulai menderu, dengan kasar Dandy memutar gas dengan tangan kanannya... putar lebih kencang,pelan lalu kencang lagi dan mebiarkannya netral.

" Apa tadi pagi kau buru-buru? " Tanya Dandy, sambil menyeka keringat di pelipisnya menggunakan punggung tangan kirinya.

" Umm uya.. aku terlambat bangun.." Aku mengangkat kedua bahuku,

" Dan tidak memanaskan motormu sebelum kau berkendara? " Tanya Dandy lagi. Aku sedikit mengingat dan dia benar. Aku tadi memang langsung me-starter dan tancap gas ke kantor

" Mungkin lain kali, kau harus bangun lebih pagi.. " Goda Dandy. Aku hanya manggut-manggut sambil menyunggingkan senyum agak malu.

" Sebaiknya kau pulang sekarang, dia sudah ok.. " Saran Dandy sambil melengkungkan jempol dan ibu jarinya membentuk huruf O untuk menggambarkan keadaan matic ku.

" Ummm.. okay.. Terimakasih Dandy, untung saja ada kau.. " Ucapku.

" Tidak masalah.. ayolah, sebelum jalanan macet " Dandy tersenyum, lesung pipi nya sangat manis.

" Well.. kontrakan-ku hanya sepuluh menit perjalanan " Aku membalas senyum Dandy.

" Lucky for you " Respon Dandy, ia.kembali menyeka keringat di keningnya. Basement memang terasa panas karena banyak kendaraan berlalu lalang. Setelah berpamitan dan mengucapkan berkali-kali terimakasih, aku melaju pesat dengan sepeda motorku, dan berharap dia akan bekerja sama hingga aku sampai di kontrakan. Seperti yang aku harapkan, motorku baik-baik saja hingga aku sampai rumah kontrakan. Setelah memastikan pintu pagar rumah tertutup dan terkunci, aku berjalan menuju pintu depan rumah dan mulai memutar kunci. Rumah yang aku kontrak ini memang kecil, tapi sudah full furnished, karena Ibu Vivie memutuskan untuk pindah ke luar pulau, kembali kepada keluarganya. Aku mengenal wanita baik hati di kantor, ibu Vivi adalah senior HRD di kantorku, namun karena terjadi sesuatu masalah pribadi, ibu Vivi tersangkut affair. Pak Albert, ia terlihat sangat mencintai ibu Vivi. Hanya saja, status pak Albert sudah memiliki seorang istri yang baru diketahui Bu Vivi belakangan, dari yang aku dengar langsung dari kasak-kusuk di kantor, Pak Albert sudah pisah ranjang satu tahun terakhir, karena sudah tidak ada kecocokan lagi dengan istrinya. Bahkan, beberapa sumber mengatakan bahwa Bu Vivi sangat antusias mempersiapkan pernikahan mereka.

Aku pernah mendapati Bu Vivi menangis di ruangannya, ketika aku sedang ingin melaporkan komplain pegawai mengenai slip gaji. Matanya sembab, hidungnya merah dan di kedua telapak tangannya menggenggam gumpalan tissue yang sudah lusuh karena air mata dan ingusnya. Sungguh wanita yang malang, aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan wanita oriental ini,jatuh cinta pada usia tiga puluh sembilan, yang tak di sangka sudah menjadi suami orang, dan sekarang harus menanggung malu, kacau dan berantakan karena hubungannya dengan manager distribusi kantor kami sudah ketahuan di seluruh penjuru kantor. Yang aku bisa bayangkan adalah betapa kacaunya aku, jika aku yang berada di posisi Ibu Vivi, dan di hari itu pula, bu Vivi menyewakan rumah mungilnya untukku, ia hanya berpesan, " Aku harap kau tidak sepertiku, jangan terlambat mengejar cinta. Karena semakin tua kau, kesempatanmu menikmati cinta akan semakin singkat "

Aku dan bu Vivi saling mengenal selama dua tahun. Aku sering menemuinya karena pekerjaanku. Kami banyak mengobrol masalah pekerjaan dan sesekali masalah pribadi. Ia wanita yang ramah, cerdas, berwawasan luas, sukses, pintar berinvestasi dan kesepian. Ia pernah bercerita padaku sewaktu aku baru satu minggu bergabung di kantor. Ia sangat terobsesi dengan investasi, untuk masa tua nya. Sehingga ia lalai dengan kebutuhannya menjalin hubungan dengan seorang pria dan menikah. Kala itu ia sudah menginjak usia tiga puluh tahun lebih. " Harta yang dihasilkan berdua akan terasa lebih nikmat" Sesal bu Vivi.
Bu Vivi menawarkan rumahnya untuk ku sewa, sebelumnya aku tinggal di kost yang aku tinggali sejak kuliah aku merasa sudah mulai kesempitan, well semenjak bekerja aku mulai membeli barang-barang baru,baju-baju kerja, gaun pesta, sepatu baru, tas kerja dan masih banyak keperluan wanita bekerja. Bu Vivi menawarkan dengan harga murah, aku sampai tidak enak untuk menerimanya. Setelah bu Vivi memaksa, dihari yang sama wanita malang itu mengajukan surat pengunduran dirinya. Ia memutuskan untuk pulang ke rumah orang tua nya di Kalimantan. Dan jadilah ini tempat tinggalku sekarang, entah aku harus senang karena dapat harga murah atau sedih karena bu Vivi sedang patah hati.

" Tak perlu mencemaskan aku.. " Senyum bu Vivi ketika berpamitan dan menyerahkan kunci rumahnya. Aku melihat kantung matanya yang menghitam, bibir tipisnya yang mengering meskipun sudah di samarkan dengan lipstik soft pink nya.Wajahnya terlihat lelah dan terluka. Aku hanya mendoakan ia cepat mendapatkan kebahagiaan.

Aku menutup pintu depan, dan menguncinya. Well inilah aku sekarang, tinggal di rumah kecil minimalis, dengan dua kamar tidur,dapur,kamar mandi. Ruang tamu Bu Vivi menyatu dengan ruang TV, aku yakin bu Vivi tidak begitu sering menghabiskan waktunya di rumah. Bu Vivi menggunakan sofa minimalis warna hitam untuk ruang tamunya, cukup nyaman untuk bersantai dan menikmati acara TV, di sebelah ruang TV langsung menuju dapur kecil dan meja makan kecil dengan empat kursi, di belakang rumah ada lahan yang kosong barang cuma seluas dua meter, biasa untuk meletakkan jemuran, dan ada kandang lipat milik Volki, anjing minipom milik bu Vivi, yaa.. hanya Volki yang ia bawa pindah. Barang-barang pribadinya seperti baju-baju masih tersimpan di gudang, bu Vivi bilang aku boleh saja memakainya jika aku perlu.

*****************************************
Bab 2 sudah published... semoga kalian masih penasaran kelanjutannya... semoga Aku bisa lebih cepat merampungkan bab selanjutnya ^O^ boleh vote and komen yaa 😀😀

JEMBATAN CINTA TERLARANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang