11: Rencana

12.4K 898 7
                                    

Vote!

Mata Alin masih sangat mengantuk, tetapi perut tidak ingin bersahabat. Ia terpaksa turun ke lantai bawah, masih dengan mata mengantuk, nyaris akan tertutup kelopaknya, jika saja Alin tak mengumpulkan kesadaran dengan cepat.

Dapur masih sangat sepi, belum ada tanda-tanda seseorang sedang menyiapkan makanan. Alin menyatukan alis, ditatapnya bahan makanan yang masih belum dimasak, tetapi dibiarkan berada di luar kulkas.

"Non? Tumben udah bangun jam segini." Seorang wanita datang dari arah ruang tamu, membawa nampan di tangannya.

"Mbak belum masak?" tanya Alin.

"Belum, Non, baru mau masak. Tadi itu Mbak udah mau masak, tapi ada tamu, jadinya bikin minum dulu buat tamu." Wani mengambil pisau dapur dan mulai mengerjakan tugasnya.

"Oh ...." Alin membulatkan bibir. "Mbak, yang cepet masaknya, aku udah laper banget," pelasnya.

Wani mengangkat pandangan dari sayuran yang dipotongnya, menuju Alin yang sedang memperhatikan tangan wanita itu. "Makan roti dulu, ya, Non."

"Nggak usah, ak—"

"Alin!" panggil Safir, menginterupsi ucapannya.

Alin menoleh ke asal suara, bukannya menyahuti, kepala malah berputar tentang hari, seingatnya ini masih hari kerja, otomatis ayahnya sudah pergi kantor di jam begini. Atau mungkin Alin lupa hari. Maklum, cuti kuliah membuatnya tidak pernah lagi melihat tanggal dan hari di kalender.

"Alin!" panggil Safir lagi.

Belum menyahut, Alin segera menuju asal suara. Pria itu berada di tangga, seperti baru saja mencarinya di lantai atas. Oh, ini pemandangan yang sangat langka, seorang Safir mencarinya di pagi hari, pada waktu kerja.

"Kenapa, Yah?" Alin menghampiri pria itu.

"Kamu ini, kalau dengar langsung nyaut, bukan diam aja," omel Safir. "Ayo ke depan, ada yang harus diomongin."

Alin tidak segera mengikuti langkah ayahnya. "Omongin di sini aja, Yah, aku lagi nungguin makanan."

"Bentaran doang, nggak lama. Makanan nggak bakal lari."

Mau tidak mau Alin mengikuti langkah ayahnya. Satu yang baru ia sadari, pria itu tidak menggunakan setelan kantor, melainkan kaus dan celana selutut. Baiklah, terjawab sudah, ini adalah akhir pekan.

Di ruang tamu, bisa dilihatnya Key tengah duduk sembari fokus ke ponsel, detik kemudian berbicara kepada Devi yang sedang menulis sesuatu di buku.

"Lo ngapain di sini?" Alin langsung berfirasat bahwa ada hal buruk yang akan terjadi.

"Eh, Yang, selamat pagi," sapa Key, tersenyum ceria.

"Ngapain di sini?" tanya Alin lagi, lebih menuntut untuk dijawab.

"Key datang buat nentuin tanggal pernikahan kalian. Kamu duduk sini, tulis di kertas, siapa aja teman yang mau diundang." Devi menjawab, sembari merobek kertas di buku, kemudian menyodorkan kepada Alin.

Sudah jelas, Alin langsung menolak. "Nentuin tanggal?" Menurutnya itu sudah sangat lancang, memulai semua tanpa memberitahukan dirinya.

"Iya," Devi menghela napas kasar, "kita udah nggak punya banyak waktu, Lin, jangan nolak lagi. Itu perut kamu makin lama bakal makin gede, malu dilihat tetangga."

"Enggak!" ketus Alin. "Kata siapa aku mau nikah sama dia?" Menunjuk Key dengan tatapan tajam.

"Alin." Safir memegang kedua bahu putrinya, menuntun untuk duduk di sebelah Devi. "Nggak usah ngebantah, masih untung Key mau tanggung jawab."

"Untung di dia, Yah, di aku enggak!" Alin mendengkus ketika Devi menaruh kertas dan pulpen di hadapannya.

"Tulis," paksa wanita itu. "Atau kamu nggak mau ngundang teman?"

"Aku nggak mau nikah, Bu." Wajah Alin sudah memohon, tetapi Devi menggeleng tegas.

"Berani berbuat, berani bertanggungjawab," ucap Safir, tegas.

"Aku nggak buat, Yah! Key perkosa aku!" jerit Alin, nyaris hampir frustrasi memikirkan masa depannya.

----

Waduh, waduh 👀

Aku ngeditnya masih ngantuk. Kalau nemu typo, mohon dimaafkan. Hihihi

Jebakan Bucin (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang