14: Hari yang Sama

12.6K 892 25
                                    

Vote!

Saat Alin terbangun, ia sudah berada di atas kasur. Seingatnya, sepanjang malam Alin berada di ruang tamu, menangis di sofa, tanpa berpikir orang tua Key akan terbangun mendengarnya meratapi nasib.

Ia berusaha bangkit, tetapi sakit di kepala membuatnya tak sanggup untuk bergerak. Mungkin karena terlalu lama menangis, membuat kepalanya sakit.

Alin kembali memejamkan mata, merasakan lagi perih hatinya akan takdir yang tengah mempermainkan. Kepala berputar cara agar lepas dari semua ini, tetapi yang ada hanya kebuntuan.

Suara pintu terbuka, membuatnya menahan napas, menunggu siapa yang sedang masuk ke dalam kamar.

"Masih tidur," ucap seorang wanita yang Alin yakin itu adalah Serena, mamanya Key.

Terdengar wanita itu menaruh sesuatu di atas nakas dalam gerakan penuh kehati-hatian, karena takut membangunkan Alin.

Beberapa menit kemudian, Alin mendengar pintu kamar tertutup kembali, membuatnya membuka kelopak mata. Ditatapnya apa yang ditaruh Serena di atas nakas, kemudian menghela napas.

Makanan. Namun, Alin tidak sedang berselera untuk mengisi perut. Bahkan jika janin di perutnya ingin sesuatu, maka ia tidak akan mau menurutinya.

Bukannya sedang jahat pada calon anak, ia hanya sedang tidak ingin melakukan apa pun. Suasana hati masih sedang berduka, ingin menjernihkan di tempat yang tak ada orang lain.

Alin bangun dan menuju lemari. Tasnya masih dalam posisi awal, tak bergeser seinci pun. Dirogohnya ponsel yang berada di dalam tas, kemudian memanggil satu nama di sana.

"Jemput gue sekarang, anterin ke rumah gue," ucapnya dingin.

"Aku masih nungguin dosen, Yang, bentar lagi, ya?"

"Nggak ada bentar-bentar, gue nggak betah di rumah lo."

Alin meminta Key untuk mengantarkannya bukan karena ingin manja, hanya saja ia tidak tahu bagaimana caranya menggunakan transportasi umum. Sejak kecil sudah memiliki sopir pribadi, kemudian saat sudah mendapatkan SIM, Alin dihadiahi mobil.

Maka sudah sewajarnya ia takut naik transportasi umum. Bagaimana jika ada orang jahat, begitulah pikirnya.

"Nanti aku anterin, tapi tunggu bentar. Aku masih mau konsul."

"Enak banget lo ngomong, ya. Gue cuti kuliah gara-gara lo, dan lo dengan seenaknya bilang bentar karena mau konsul. Di mana otak lo?" Alin mendengkus kesal, ini masih pagi, dan ia sudah kepanasan mendengar alasan Key.

"Lin, sebenarnya kamu bisa lanjut kuliah meskipun lagi hamil, tapi kamu malah ambil cuti hanya gara-gara nggak mau malu."

Alin menarik napas, kemudian menghembuskan perlahan. "Dan lo sok mau ceramahin gue?"

"Bukan gitu, Yang."

"Gue hamil gara-gara lo! Kalau ditanya, gue nggak mau ada di posisi ini! Lo bikin gue menderita!" Alin memukul lemari, demi menyalurkan kemarahannya. "Sekarang juga jemput gue! Nggak ada tapi-tapian!"

Memutuskan sambungan, ia memutar tumit untuk kembali menuju ranjang. Namun, gerakannya terhenti karena kehadiran seseorang. Di pintu, Serena menatap penuh rasa bersalah ke arahnya. Bagus, biarkan semua orang tahu bahwa Alin sedang menderita.

"Meskipun Mama mohon maaf, pasti kamu nggak bakal maafin Key," ucap Serena.

Alin hanya melengos, malas menanggapi. Masalahnya ada pada Key, bukan orang tua. Mereka tidak perlu ikut campur atau mewakili Key untuk minta maaf. Alin tidak menerima maaf, ia hanya ingin kehidupannya yang dulu kembali lagi.

"Sarapan dulu, Lin, nanti makanannya dingin."

Masih tidak ingin menanggapi, Alin berbaring lalu memunggungi wanita itu. Katakan ia kurang ajar, Key yang membuatnya untuk bersikap seperti. Menurutnya, ia pantas memusuhi seluruh dunia.

----

👀
Bentar lagi aku kelarin cerita ini 😅

Mau baca punya Key, ada di AlexandraMilenius

Jebakan Bucin (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang