13: Hari H

13.4K 888 21
                                    

Hanya agar tidak membuat malu keluarga, Alin terpaksa berdiri dan menjabat tangan para tamu undangan, dengan senyum merekah yang terkesan dipaksakan.

Lagi pula, undangan lebih banyak keluarga dua belah pihak dan teman dari para orang tua. Alin tidak punya rasa percaya diri untuk mengundang teman-temannya, mereka pasti akan menertawakannya yang malah berakhir di pelaminan bersama Key, si budak cinta yang sangat Alin hindari sejak SMA.

"Kapan, sih, selesainya?" gerutu Alin, sudah bosan berdiri lama dan harus tersenyum di depan banyak orang.

"Sabar, bentar lagi." Key menyahuti.

Selain muak dengan para tamu yang tidak ada habisnya, Alin juga muak mendengar suara Key yang terus menyahuti kekesalannya.

Ah, bukan hanya suara, Alin benci semua yang ada pada Key. Tak ada satu pun yang membuat ia bahagia melihat lelaki itu ada di sampingnya. Malahan, ingin sekali mencakar wajah itu.

"Kak Alin, selamat." Seorang perempuan menjabat tangan Alin, wajah itu berbinar bahagia.

Mungkin Alin tidak terlalu dekat dengan Lica, adik dari Darren. Namun, mereka saling kenal karena Alin cukup dekat dengan kakak dari perempuan itu.

"Selamat Kak Key." Lica beralih pada Key.

"Makasih udah dateng, Darren mana?" tanya Key.

"Nggak bisa hadir, Kak, makanya gue yang wakilin. Ada titipan hadiah dari Abang, nitip pesan juga, katanya kalian berdua jangan berantem mulu, nggak baik dilihat orang lain," jelas Lica panjang lebar.

Key tertawa geli. "Dia nitip pesan kayak orang udah mau tamat."

"Abang akhir-akhir ini jadi orang aneh. Nanti kapan-kapan gue cerita, pokoknya selamat buat kalian berdua." Lica berlalu dengan senyum manis, di belakangnya ada seorang lelaki mengekor.

"Itu pacarnya Lica, namanya Milo." Key memberitahukan kepada Alin.

"Nggak perlu dikasih tahu, nggak penting," sungut perempuan itu.

----

Jika pengantin baru akan merasa bahagia saat malam pertama, berbeda dengan Alin yang kesal, masih saja belum bisa menerima pernikahan ini.

Ia tidak percaya dengan keberhasilan menikah tanpa cinta, kemungkinan keberhasilan hanya di bawah 10%, sisanya cerai atau diambil pelakor.

Jika Key diambil pelakor, maka Alin akan sangat ikhlas lahir dan batin. Dunianya akan sangat aman, dan nyaman. Jangan lupa, Alin akan bebas dan merasa ia adalah orang yang paling bahagia di bumi ini.

Hanya dengan memikirkan itu saja, senyum Alin mengembang sempurna.

"Kamu belum tidur?"

Suara itu membuyarkan khayalan Alin yang hampir mencapai angkasa. Kenyataannya, Key tidak akan bisa ditarik oleh pelakor. Lelaki itu terlalu mencintai Alin.

"Gue belum tidur atau udah tidur, itu bukan urusan lo," ucap Alin menatap Key dengan tatapan tajam. "Siapin satu kamar buat gue, atau lo pindah ke kamar lain, gue muak lihat wajah lo."

"Nggak bisa gitu. Kita, kan, udah nikah." Key dengan santainya duduk di tepi kasur.

Alin yang lebih dulu duduk di atas kasur, segera berdiri, semakin marah pada Key. "Jangan dekat-dekat, gue jijik!" jeritnya.

Key tidak terkejut dengan jeritannya, sudah terbiasa ditolak seperti itu. Hal ini yang membuat Alin kesal, sejahat apa pun ucapannya, Key masih tetap berdiri tegap.

Tak tahan lagi, Alin melangkahkan kaki ke luar kamar. Air mata menetes tanpa diminta. Ia tahu, menangis tak ada gunanya, semua telah terjadi.

Tak ada lagi tujuan hidup, pilihannya hanya menyerah dan menerima kenyataan. Namun, tidak semudah itu bagi Alin untuk pasrah. Ini tidak adil baginya.

Mengorbankan kuliah yang hampir selesai, rasanya tidak cukup, semesta sangat jahat, telah mengambil semua darinya, bahkan harapan sekecil apa pun telah direnggut.

Alin benar-benar sudah tak bisa bahagia.

---

Owuooo

Jebakan Bucin (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang