3: Nikah

28.7K 1.5K 16
                                    

Vote!

Alin mengunyah makanan dengan nikmat, meskipun keberadaan dua orang dewasa membuatnya terganggu. Ya, tumben sekali mereka sudah berada di rumah sebelum jam makan malam, biasanya Alin akan makan sendirian tanpa seorang pun yang menemani.

Ia tak akan bertanya, atas dasar apa mereka pulang cepat dari pekerjaan, dan ikut makan bersamanya.

"Gimana kuliah kamu?" tanya sang ayah.

Alin hanya mengangkat alis, tentu ia heran dengan sikap tersebut. "Biasa aja," jawabnya.

Kembali melanjutkan makan, yang terdengar hanya suara sendok bertemu piring. Alin cepat menyelesaikan makannya, berencana keluar rumah untuk pergi entah ke mana, yang jelas ia tak ingin terkurung bersama dua orang dewasa itu.

Begitu rencananya, tetapi sang ibu malah menambahkan nasi di piringnya yang tentu itu akan membuat Alin menjadi lama berada di ruang makan ini.

"Kita ngobrol dulu, udah lama, 'kan?" Ibunya tersenyum.

Senyuman itu terkesan kaku, sebuah kewajaran karena mereka sudah lama tak saling sapa. Kedua orang tuanya sibuk dengan pekerjaan, sedangkan Alin punya banyak urusan yang tidak akan berakhir.

Ya, selama Alam tak kunjung membalas perasaannya, maka Alin pun merasa perjuangannya tidak akan pernah berakhir. Selamanya, sampai Alam mau melihat ke arahnya.

"Mau obrolin apa?" Alin menjauhkan piringnya, pertanda ia tak ingin makan lagi, meskipun nasi sudah menunggu untuk dilahap. Oh tidak, Alin belum berencana menambah berat badan.

"Kamu akhir-akhir ini sibuk ngapain?" tanya Devi, memulai percakapan ke arah yang lebih serius, bukan sekadar basa-basi.

"Ngapain lagi kalau bukan kuliah." Alin mendengkus, menurutnya tidak perlu menanyakan hal itu.

"Yakin?" Sang ayah malah menantang jawabannya. "Kamu bukannya lagi rencanain mau nikah?"

"Hah?"

Alin menatap bingung ke ayahnya, detik kemudian ia tertawa keras. Ini adalah hasil dari kurangnya komunikasi, bagaimana bisa mereka lebih tahu tentang Alin, sedangkan dirinya tak pernah berpikir untuk menikah lebih cepat.

"Ini serius?" tanya Alin kepada dua orang dewasa itu.

"Seharusnya Ayah yang nanya kayak gitu," balas Safir. "Kita lagi serius, jangan ketawa dulu, nggak ada yang lucu."

"Ya, habisnya ngomong, kok, ngaco banget." Alin menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan ucapan ayahnya. "Jadi, ini alasan kalian pulang cepet dari kantor?" Ia tertawa kecil. "Nggak masuk akal."

"Nggak masuk akal bagaimana?" Suara ibunya terdengar kesal.

Alin berdecak, ditatapnya wanita itu dengan berani. "Nggak masuk akal karena aku aja nggak mikirin buat nikah, dan kalian tiba-tiba pulang ninggalin kerjaan hanya buat ngomongin hal kayak gini," ketusnya.

Sudah biasa bagi Alin membalas setiap ucapan orang tuanya dengan nada ketus. Terserah mau dikatakan anak durhaka, mereka saja tidak peduli padanya. Lihat, hanya hal aneh begini yang membuat mereka berada di rumah.

Saat masih sekolah dulu, di antara mereka tidak ada yang mau mengalah meninggalkan pekerjaan sebentar saja hanya untuk mengambil raport yang tidak membutuhkan waktu berjam-jam.

Jika bukan sang nenek yang memarahi ibunya, sudah pasti selama SMA Alin harus mengambil raportnya sendirian tanpa ada yang mendampingi. Sama seperti saat SMP. Ya, selama tiga tahun di SMP, Alin selalu bingung bagaimana caranya mengatakan kepada wali kelas bahwa orang tuanya sangat sibuk. Pada akhirnya para guru sudah hafal dengan alasan-alasan yang diberikannya.

Saat SD, Alin selalu ditemani neneknya. Sekarang beliau tinggal di Sukabumi, mengisi masa tua menjauhi hiruk ibu kota.

Alin benar-benar bingung dengan kelakuan orang tuanya. Mereka hanya perlu datang di waktu pembagian, duduk sebentar, menunggu nama Alin dipanggil, kemudian mengambil raport itu, dan terakhir mendengarkan semua hal tentangnya dari wali kelas. Namun, itu terasa sangat buang-buang waktu menurut orang tuanya.

"Belum mikirin?" Ayahnya menautkan alis. "Terus, cowok yang datang ke kantor Ayah, yang katanya mau ngelamar kamu, itu siapa? Pacarmu, 'kan?"

"Hah?" Alin tak tahu bagaimana ekspresinya saat ini, yang jelas ia kaget mendengarkan ucapan ayahnya. "Sejak kapan gue punya pacar?" bisiknya.

Satu nama terbesit di kepala, satu-satunya orang yang berani melakukan hal ini hanyalah si orang gila yang terus mengejarnya sejak SMA.

----


Jebakan Bucin (END) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang