Namaku Hutan Maharani, perempuan asli Indonesia, berdarah Banjar-Jawa, berambut hitam tebal, bermata hitam lebar, dan berkulit sawo matang. Benar, namaku memang unik, dan tak jarang menjadi bahan bercandaan kawan-kawanku saat masih duduk di bangku sekolah. Namun, aku tak terlalu mempermasalahkannya, karena aku bangga dengan namaku itu.
Hutan dalam bahasa Indonesia berarti tanah luas yang ditumbuhi pepohonan penghasil oksigen terbesar di dunia, atau dalam bahasa Inggris disebut forest. Sedangkan Maharani berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya ratu. Mungkin ayahku berharap aku bisa menjadi Ratu Hutan layaknya Tarzan yang menjadi Raja Hutan. Sedikit banyak, pemberian namaku ini dikarenakan rasa cinta Ayah yang sangat besar kepada hutan.
Sebelum memiliki aku, orangtua Ayah, kakek dan nenekku, hidup bergantung pada hutan. Mereka mengambil sumber daya alam secukupnya, merawat keasrian hutan, dan tidak merusak habitat yang ada. Di hutan pulalah Ayah biasa bermain saat kecil, dengan tumbuhan-tumbuhan liar, maupun dengan binatang liar. Setelah dewasa, Ayah pindah ke Jogjakarta dan akhirnya mengenal Ibu, hingga lahirnya aku, dan kami menetap di sana sampai aku dewasa.
Namun, sepertinya rasa cinta Ayah kepada hutan menurun padaku. Mungkin karena sudah sejak kecil dibiasakan dengan alam, mendaki gunung, menyusuri sungai, dan berkemah, membuatku memutuskan menjadi Polisi Hutan di Kalimantan Timur setelah lulus Sarjana Kehutanan. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah untuk direstui orangtuaku pada awalnya. Pertama, karena aku perempuan. Kedua, karena aku belum menikah.
Aku berusaha meyakinkan mereka bahwa aku sanggup dan kuat. Aku juga terpaksa berjanji tak akan selamanya bekerja di sini. Kelak aku akan melamar pekerjaan di perusahaan industri, biro konsultan, Kementerian Kehutanan atau Kementerian Lingkungan Hidup, berwirausaha atau mungkin bergabung organisasi nirlaba peduli lingkungan. Anggap saja saat ini aku sedang magang, langsung kepada Sang Pencipta, bertugas menjaga kelestarian hutan dari tangan-tangan jahil maupun kebakaran hutan.
"Loh, Mbak, balum balik?" tanya Pak Yusuf, salah satu penjaga kebersihan Taman Nasional menyapaku. "Handak gelap sudah ini?"
"Belum, Pak," jawabku sembari tersenyum ramah. "Masih nunggu Mas Anton gantian jaga. Katanya bannya bocor."
"Oalah......" Bapak itu meraih jaketnya dan mengenakan. "Kalau begitu Bapak balik duluan kada papa ya, Mbak?" tanyanya terdengar tak enak. "Anu-soalnya anak Bapak dari pagi diare. Malam ini handak Bapak antar ke dokter."
"Ohhhhh ngga apa-apa, Pak," jawabku cepat. "Semoga cepet sembuh, Hafizah. Nanti setelah balik, saya jenguk deh, Pak, sambil bawa jajanan kesukaannya."
"Kada usah, Mbak. Kada usah," sahutnya kembali. "Didoakan haja sudah terima kasih banyak. Kalau begitu Bapak balik dulu lah."
"Siap, Pak... Hati-hati di jalan."
KAMU SEDANG MEMBACA
HUTAN & CAKRAWALA
ПриключенияDengan berlatar tanah Kalimantan, cerita ini berkisah tentang seorang gadis tangguh bernama Hutan Maharani dan kecintaannya pada alam, hingga akhirnya bertemu Cakrawala, pria yang memperkenalkannya pada cinta dan dunia, namun juga memberi luka. Teri...