Angkasa 8

58 6 8
                                    

"Hutan, ngga apa-apa kok, Mas. Iya... Hutan tunggu... Assalamualaikum." Dan gadis itu—maksudku wanita itu pun menutup sambungan telepon dengan—suaminya. Aku tak pernah tahu kalau Hutan bisa berbicara semanja itu sebelumnya, sampai menyebut dirinya sendiri 'Hutan' bukannya 'aku'.

"Kau—bagaimana kabarnya?" tanyaku berusaha memulai pembicaraan, dan entah mengapa kerongkonganku terasa begitu kering saking gugupnya.

"Mrs!" seru wanita itu cepat yang membuatku bingung sesaat. "Jika kau bertanya aku Miss atau Mrs, maka aku Mrs sekarang."

"Ahhhh............" Seakan silet baru saja menggores hatiku. "Aku—tahu," jawabku pendek. Karena memang, bahkan orang bodoh pun tahu, Hutan yang dalam keadaan hamil besar begini berarti seorang pria yang baik telah meminangnya dan menjadikannya istri yang sah. Tidak seperti aku, pria pengecut dan bodoh. Menyia-nyiakan kesempatan untuk bersanding dengannya hanya karena ambisi bodohku.

Hening kembali menyelimuti kami, tak tahu harus berbicara apa, atau mulai dari mana. "Jadi—" wanita itu pun bangkit. Dan sebuah goresan kembali hadir di hatiku ketika melihat bagaimana ia mencoba berdiri dengan kepayahan. "Jangan! Tak usah! Tak usah," pekiknya ketika tanganku hendak membantunya. "Maaf..." Dan aku hanya bisa membisikan itu.

"Suamiku akan datang sebentar lagi, Cakrawala." Mendengar bagaimana ia masih mengingat namaku, goresan ketiga, atau mungkin entah keberapa kalinya kembali tercipta di hati. "Jika kau tak ada yang ingin dikatakan, maka sebaiknya aku pergi—" / "Tak bisakah kau di sini sebentar lagi saja?" potongku cepat.

"Aku sudah menikah, Cakra!" pekiknya setengah berteriak. "Aku sudah move on! Aku sudah bahagia sekarang dan kau harus mulai mencari kebahagiaanmu sendiri! Aku senang akhirnya kau dibebaskan, tapi maaf—" Wanita itu berdiri memunggungiku. "—tak ada tempat untukmu di hatiku lagi, Cakra. Hatiku sudah penuh dengan anak-anak—"

"MAMAAAAAAAAAA............" Seorang bocah kecil, usia balita, berlarian dengan lincahnya, berseru pada Hutan yang seketika tampak panik. "Kenapa kau kemari, Angkasa???" Dan itu membuatku bertanya-tanya, apa jangan-jangan bocah itu—

"BUKAN!!" seru Hutan tiba-tiba. "Jangan katakan kalimat itu! Karena Angkasa bukan seperti yang kau kira!"

Jadi—benar? Dia anakku?

"Mama... Om ini siapa??" tanya bocah laki-laki itu menatap ke arahku penasaran, dan aku tak bisa menahan airmata yang tiba-tiba jatuh begitu saja dari sudut mataku. Jadi— Hutan saat itu mengandung anakku? Kenapa? Kenapa ia tak pernah bilang padaku?

Namun, sedetik kemudian aku pun paham. Siapa juga ada orangtua yang mau anaknya menjadi anak seorang residivis? Mantan napi? Penjahat? Penculik orangutan? Tidak... Andai aku menjadi Hutan, tentu aku akan melakukan hal yang sama. Maaf............... Maafkan aku, Hutan. Kau harus menanggung ini semua sendiri, dan aku tak tahu malu berani menemuimu kembali setelah kau bahagia bersama keluarga kecilmu.

Di saat sama, muncullah seorang pria, masih cukup muda, dengan kemeja biru mudanya, dan nametag dengan nama perusahaan BUMN ternama ada di sana. "M-mas... Kok Angkasa dibiarkan turun sih??"

Pria itu tak menjawab dan justru menatap ke arahku bingung. "Dia?"

"Oh, kenalkan. Dia suamiku, Mas Herman, dan dia—" / "Saya Cakrawala," ucapku mengulurkan tangan, dan dari ekspresi keterkejutannya aku tahu kalau dia sudah tahu segalanya. Hutan pasti cerita.

"Herman," ucapnya cepat, menjabat tanganku dan kemudian menariknya. "Ayo kita segera berangkat kontrol ke Rumah Sakit, Dek," bisiknya pada Hutan, dan aku sungguh kagum bagaimana bisa ia menahan dirinya untuk tak menghajarku, setelah melihat wajahnya yang berubah merah, menahan emosi, dan di sisi lain Hutan tampak mengelus-elus punggungnya, mencoba menenangkan.

"Kami permisi dulu." Pria itu segera menggendong—Angkasa, ya namanya Angkasa, jagoanku Angkasa. "Aku akan tunggu di mobil, tapi kumohon jangan lama." Hutan hanya mengangguk, dan setelah pria itu melangkah, Hutan pun mengusap airmatanya cepat, tak mau terlihat menangis di hadapanku.

"Selamat tinggal, Cakrawala..." ucapnya sembari menatap mataku dalam. "Aku mohon—jangan pernah muncul lagi di hadapanku maupun Angkasa. Aku mohon." Dan wanita itu pun berbalik, mengikuti langkah suaminya yang ternyata menunggu tak jauh.

Ya, selamat tinggal, Hutan. Mungkin ini pertemuan terakhir kita. Maaf untuk segalanya. Dan terima kasih, telah menyadarkanku atas tindakan bodohku pada orangutan.


SELESAI

Terima kasih sudah membaca Hutan & Cakrawala.

Mohon bantuannya like & komentar, biar aku makin semangat posting cerita lainnya.

Sampai jumpa di cerita selanjutnya. ^^

HUTAN & CAKRAWALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang