Taksa 1

34 6 0
                                    

Namanya Hutan Maharani, perempuan asli Indonesia, berdarah Banjar-Jawa, berambut hitam legam, bermata hitam cemerlang, berkulit sawo matang, dan berwajah ayu khas Indonesia. Dia adalah gadis yang kuat, pemberani, dan berkemauan keras. Impiannya adalah berbakti pada alam, hingga sempat menjadi Polisi Hutan dua tahun lamanya. Setiap bangun di pagi hari, yang ia pikirkan adalah ingin segera kembali ke hutan. Sebegitu besarnya rasa cintanya pada hutan.

Namun, sayang. Sepertinya Hutan harus memendam rasa cinta itu untuk sesaat. Ia sungguh tak tega mendengar ibunya terus memohon padanya untuk berhenti 'mengurung diri' di dalam hutan. Ibunya berdalih, jika ingin berkontribusi pada alam, masih banyak cara lainnya yang bisa ia lakukan, misalnya menjadi dosen, ilmuwan, bekerja di kementerian, organisasi lingkungan atau apapun. Hingga akhirnya setahun yang lalu, Hutan memutuskan berhenti bekerja, dan melanjutkan pendidikan S2-nya di Paul Smith's College, New York, Amerika, jurusan Biologi, dengan beasiswa penuh.

Jauh di angan-angan, Hutan bisa sampai berkuliah di negera yang belasan ribu kilometer dari kampung halamannya, Jogjakarta, tapi ya......di sinilah ia berada. Berangkat kemari hanya dengan modal tekad dan keberanian. Takut? Tentu. Hutan belum mengenal siapa-siapa di sana, hingga akhirnya tak sengaja bertemu Cakrawala di depan café kopi, pria yang sempat memberinya sensasi hangat di dada dengan sedikit cubitan romansa. Cakrawala pula lah pria yang hampir ia hajar setahun yang lalu karena salah tangkap dikira penculik orangutan. Padahal bukan. Kala itu Cakrawala hanya sedang melakukan penelitian disertasinya di Taman Nasional.

"Jadi, akhirnya kau berhenti mengurung dirimu, Hutan?" tanya pemuda itu membuka pembicaraan, namun justru membuat Hutan memicingkan mata. "Kita baru bertemu setelah setahun lamanya loh, Cakra!" serunya memperingatkan, yang justru membuat Cakra tertawa. "Hahahaha... Ampun... Jangan hajar aku..."

Gadis itu mengabaikan lelucon itu dan beralih mengaduk foam pada kopinya. "Berhentilah mengolok-olokku, Cakraaa......"

"Iya, maaf...maaf..." bisik Cakra mengontrol dirinya kembali. "Tapi kejadian hari itu sungguh membekas di hatiku, Hutan. Kau sungguh keren! Seorang perempuan menjadi Polisi Hutan adalah hal yang luar biasa!"

"Luar biasa hingga kau menyarankanku untuk berhenti?" Gadis itu mengangkat kepalanya, dan menatap kedua manik coklat pemuda itu seakan sedang meng-skakmat-nya.

"Luar biasa belum tentu aman, Hutan........." jawab Cakra hati-hati dan tersenyum. "Kau tak ingat perlu mendapat sepuluh jahitan hari itu? Itu mungkin yang membuat ibumu khawatir."

"Ya-ya-yaaa..." sahut Hutan tak minat berdebat. "Terima kasih sudah diingatkan dan-ah!" Hutan memekik ketika Cakra menyentuh tangannya tiba-tiba, "Mana lukanya? Apakah membekas?" Hutan perlahan menyingkap lengan kaos panjangnya, dan memperlihatkan garis memanjang bewarna sedikit gelap.

"Goresan kenangan manis kita ini!" celetuk Cakra yang membuat Hutan tergelak. "Aku juga ada." Ia pun menyentuh dahinya sendiri, dan memperlihatkan bekas luka di sana. "Ini juga goresan kenangan manis kita. Terima kasih yah."

Dan ucapan terima kasih itu sukses menggelitik Hutan, dan tertawa. "Terima kasih? Hahaha. Kau bodoh!"

"Bodoh?" Cakrawala melipat tangannya di dada. "Aku-doktoral biologi loh, barangkali kau lupa! Dan barusan kau sebut aku bodoh??"

Hutan kembali tertawa dan menggeleng geli. "Terima kasih ya, Cakra. Kau sudah tiba-tiba muncul seperti jin pelindungku. Andai tak bertemu denganmu, mungkin saat ini aku sedang menangis di kamar flat karena kesepian, jauh dari mana-mana, tak kenal siapa-siapa."

"Dulu kau menemaniku selama di hutan, Hutan, kini saatnya aku menemanimu di sini," sahut pemuda itu kembali tersenyum manis. "Tapi-err-mungkin maksudmu malaikat pelindung, bukan jin pelindung, kan?"

"HAHAHAHAHAHA" Dan meledaklah tawa Hutan, batal tersentuh dengan ucapan pemuda itu. Tak menyangka, setelah setahun tak bertemu, kemampuan berjenaka Cakrawala meningkat pesat. Mungkin saat itu ia sedang banyak pikiran saja, makanya tak lepas.

HUTAN & CAKRAWALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang