Rahara 7

33 8 1
                                    


Setelah bergulatan batin yang cukup dahsyat, pertimbangan ini dan itu, dan di sinilah aku berada, New York, Amerika Serikat. Ya. Aku mengajukan beasiswa keluar negeri, dan kebetulan Paul Smith's College-lah yang menerimaku. Bukan universitas ternama, tapi cukup bagus-lah biologinya di sini.

Hidupku... Hidupku...

Dalam setahun ini terlalu banyak yang terjadi dalam hidupku. Setahun yang lalu aku masih bekerja di hutan, enam bulan yang lalu aku gabut di Jogjakarta, dan saat ini tiba-tiba aku di Amerika.

Seperti mimpi saja. Selama bekerja di hutan, tak sedikitpun aku membayangkan bisa sampai di Amerika. Kala itu, melihat Cakrawala yang berkuliah di Amerika saja seperti melihat seseorang yang sangat hebat, dan tak mungkin aku bisa sehebat itu. Namun, ternyata di sinilah aku sekarang, berusaha terlihat sedikit hebat.

Seselesainya mengurus adminitrasi di kampus, aku berjalan sendirian menuju café kopi terdekat. Andaikan ini di Indonesia pasti mudah mencari tempat nongkrong ketika gabut begini. Ke mall, duduk di KFC dengan hanya memesan es krim, atau ke Gramedia melihat-lihat buku. Tapi di Amerika, hmmmmm, aku takut kalau tempat yang aku kunjungi harganya mahal. Dan kopi sepertinya yang paling aman di kantong, sebelum nanti belanja stok makanan di supermarket.

Terlihat antrian café kopi ini sedikit panjang. Sempat bingung aku kenapa kopi saja bisa seramai ini?? Namun, mataku menangkap ke arah papan yang menunjukan tanda promo diskon 50%, dan berlaku untuk take away juga.

"Aaaaah... pantas saja—eeehh!!" Perhatianku teralihkan ketika melihat seorang pria di hadapanku merogoh saku jaket pria di depannya guna mengambil dompet.

Insting waspada Polisi Hutanku langsung meraung-raung. Dengan cepat kutendang pria itu di lutut, kupukul kepalanya hingga terjatuh, dan kucengkeram tangannya yang secara jelas mengambil dompet dari pria di depannya. "Ahhh!! Ahhh! Ahhh!!" Pria itu menjerit karena tangannya yang memang sedikit aku pelintir.

"Someone please call the police!!" seruku mengambil barang bukti dompet dari tangannya. "This man took the wallet from the man—CAKRAWALA?????" seruku tak menyangka dompet yang dicuri adalah milik Cakrawala, pria misterius yang hadir dan pergi begitu saja dari hidupku?

"Hutan?" seru pria itu tak kalah terkejut. "Kau di Amerika??"

"Ka-kau sendiri di New York??" pekikku masih tak menyangka Tuhan menakdirkan kami kembali bertemu.

"Iya, aku sedang refreshing setelah ujian disertasi di sini. Kau sendiri?"

"Aku?" Seketika wajahku terasa panas, dan aku yakin aku merona malu. "Aku kuliah di sini. Jadi—kau jadi membantuku adaptasi hidup di Amerika?" tanyaku menggaruk rambutku yang tak gatal, seketika lupa pada kegaduhan yang baru saja aku ciptakan.

Pria itu pun tertawa dengan kencangnya. "Tentu! Dan maaf—aku menghilang begitu saja, karena sungguh disertasi kemarin menyita pikiranku. Aku sempat kembali ke Kalimantan, tapi katanya kau sudah resign, jadi yaa—oya, Miss atau Mrs?"

"Hah?" tanyaku sesaat tak paham. "Oh............ Miss!" seruku cepat dan sedetik kemudian kusadari betapa memalukannya reaksiku ini.

"Syukurlah..." ucapnya memamerkan senyum tampannya. "Aku masih ada kesempatan kalau begitu."

SELESAI

HUTAN & CAKRAWALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang