Rahara 5

48 9 1
                                    

Sebulan sudah Cakrawala melakukan penelitian di Taman Nasional, dengan guide pribadi Ratu Hutan langsung, yaitu aku. Hampir setiap hari kami meluangkan waktu bersama. Kebanyakan membahas tumbuhan maupun satwa, tapi tak jarang juga mengobrol masalah pribadi seperti yang sedang kami lakukan saat ini.

"Apa yang membuatmu mencintai hutan-maksudku semua ini, Hutan?" tanyanya sembari berjalan di sebelahku, sesekali memeriksa langkahku, takut aku terpeleset atau apalah. Padahal, ayooolah. Aku ini Polisi Hutan, aku bukan gadis lemah yang harus selalu dijaga.

"Hutan mencintai hutan?" tanyaku membuatnya sedikit tertawa.

"Namamu unik sekali, aku jadi bingung ketika menyebut kata hutan, itu sedang merujuk pada pepohonan ini atau memanggilmu."

Aku pun ikut tergelak. "Ya, anggap aja kami itu satu, Cakrawala. Aku adalah hutan, dan hutan adalah aku. Kami sulit dipisahkan, seakan Hutan yang ini," ucapku menepuk dadaku sendiri, "tak bisa hidup tanpa hutan yang ini." Dan kemudian mengangkat tangan meluas menunjuk ke sekeliling.

"Tapi hutan pepohonan ini bisa hidup tanpamu," ucapnya sedikit membuatku mengernyit. "Maksudku-masih banyak Polisi Hutan lainnya, kenapa kau mau terjebak di sini, padahal kau berpendidikan tinggi? Kau bisa bekerja di kementerian kalau kau mau!"

"Dan kau terdengar seperti ibuku!" seruku ketus, berjalan lebih cepat, tak peduli jika ia tertinggal di belakang.

"Semua orangtua pasti tak tega melihat anak perempuannya berada di tempat terpencil seperti ini, Hutan," serunya berusaha mengimbangi langkahku. "Kau bisa terus berkontribusi pada alam tanpa perlu mengurung dirimu."

"Aku tak sedang mengurung diriku sendiri!" pekikku sedikit meninggi.

"Kau bisa menjadi ilmuwan sepertiku, kalau kamu mau," sambungnya lagi yang entah kenapa aku tak peduli. "Aku bisa membantumu mendapat beasiswa di Amerika, dan beradaptasi hidup di sana."

"Aku tak minat belajar lagi, Cakra..." seruku ingin segera menyudahi. "Setiap kalimat yang kau ucapkan sungguh mirip dengan ibuku!"

"Mungkin-" Cakra menghentikan langkahku, meraih lenganku lembut. "-karena kami sama-sama orang yang menyayangimu, Hutan. Kami cuma ingin yang terbaik darimu."

Apa? Sayang? Selama beberapa saat aku mematung, berusaha mencerna kata-katanya. Menyayangiku???

"Oya, bagaimana dengan tanganmu, Hutan?" Pria itu mengalihkan pembicaraan dan segera melangkah begitu saja, membiarkanku tertinggal beberapa langkah darinya. "Apa sudah kering?"

"HEY, TUAN!" seruku segera mengimbangi langkahnya. "Jangan bilang barusan kau berusaha berkata kalau kau mencintaiku??!" Dan tak menyangka aku bisa seblak-blakan ini bicara tentang perasaan pada seorang pria. Maksudku-aku nyaman berteman dengan Cakrawala, aku nyaman menemaninya berkeliling Taman Nasional, tapi aku tak pernah menyangka gadis sepertiku, yang kumal, berkulit gelap, bau matahari dan keringat, bisa membuat pria ini 'sayang' padaku.

Pria itu yang kini mematung di hadapanku, menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan, seakan dia sedang berpikir sesuatu yang rumit dan akan meledak. "Aku-" ucapnya terputus sesaat. "-akan kembali ke Amerika akhir minggu ini."

DEG!!!

Seakan besi panas baru saja ditorehkan di dadaku. "Se-secepat ini kau pulang?"

"Untuk cinta-hmmm, tentu masih jauh bagi kita berdua yang notabene baru mengenal sebulan belakangan, tapi yang jelas-" ucapnya dengan sangat hati-hati meraih tanganku, sembari mengamati reaksiku, "-aku ingin bertemu lebih lama denganmu, mencoba mengenalmu lebih dalam. Karena jujur aku kagum padamu, Hutan. Tapi sangat mengesalkan karena aku harus segera kembali ke Amerika."

"Ti-tidak." Perlahan kutarik tanganku dari genggamannya, menatap dua manik coklat itu bergantian kanan dan kiri. "Aku tak tahu harus berkata apa, Cakra..." Dan melangkahlah pergi aku meninggalkannya, karena sungguh, aku tak jago untuk hal-hal serumit ini, terutama urusan hati.

Dan itu menjadi percakapan terakhirku dengan Cakrawala, karena aku tak mau menemuinya setelah hari itu, dan membiarkannya pergi begitu saja kembali ke negara tempat ia menimba ilmu.

"Apakah kau sudah melakukan kebodohan, Hutan?!!" seruku menghujat diriku sendiri. "Seharusnya kau meminta nomer HP-nya atau alamat emailnya!! Sehingga bisa terus berkomunikasi, walau bukan sebagai pria dan wanita, tapi setidaknya sebagai teman! Kenapa kau begitu bodoooh?!!"

HUTAN & CAKRAWALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang