Angkasa 7

22 6 0
                                    

Sesampainya di lokasi, aku turun dari kendaraan roda tiga itu dengan dibantu pengemudinya. Ia bahkan membantu menyeimbangkan berdiriku yang bersangga pada tongkat, dan kuserahkan uang lima puluh ribuan ke padanya.

"Ambil saja kembaliannya, Pak," ujarku yang langsung membuatnya sumringah. "Lhoalah... Terima kasih banyak, Den Bagus!! Terima kasih banyak... Sebentar-sebentar, saya parkirkan dulu becaknya, saya bantu jalan saja sampai ketemu orang yang dicari."

"Tidak usah, Pak. Tidak usah," sahutku merasa tak enak. "Sudah, Bapak lanjut saja. Terima kasih banyak ya, Pak."

"Njih, terima kasih, Den. Dan selamat datang di Jogjakarta..."

Benar, di sinilah aku sekarang berada, Jogjakarta. Dan jika kau bertanya kemana tujuanku? Kau pasti tahu. Ya, aku akan mencari bidadariku di kampung halamannya, dengan bantuan Ketua Yayasan itu dan seluruh koneksinya.

Dengan berjalan menahan sedikit rasa ngilu di lututku, yang sepertinya tak akan bisa sembuh sempurna, aku menyusuri ruang demi ruang Universitas, mencari tanda atau tulisan di mana ruang dosen jurusan Kehutanan berada. Aku senang sekali mengetahui bahwa Hutan akhirnya memilih bekerja menjadi dosen. Kepintarannya akan sangat bermanfaat dalam mengajar mahasiswa-mahasiswinya. Dia pasti menjadi dosen berprestasi.

Namun, seketika langkahku terhenti ketika kulihat seorang gadis berkerudung tengah menelepon di teras di kejauhan sana. Suaranya terdengar sangat mirip dengan suara bidadariku.

Itu pasti dia! Itu pasti dia!

Aku pun mempercepat langkahku ingin memberinya kejutan. Dan ketika ia berbalik, dapat kulihat wajahnya yang amat kurindukan, membuatku tersenyum, tak tahan untuk memeluknya. Dia masih secantik dulu, lebih cantik malahan dengan tampilan berkerudung seperti saat ini. Dia tampak lebih feminim dan aku harap kakiku bisa bekerjasama, karena aku sudah tak sabar untuk menemuinya.

Namun sayangnya-senyumku seketika luntur, ketika kulihat perutnya yang menonjol, besar. Dan di saat bersamaan dia juga menatap ke arahku, membuat ponsel yang semula menggantung di telinganya pun terjatuh ke lantai.

"Dek... Dek... Hutan... Ada apa? Halo..." bunyi seorang pria terdengar khawatir dari seberang telepon.

HUTAN & CAKRAWALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang