Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi

Wedding Day

31.5K 2.6K 131
                                    

Pengaruh media sosial sangat besar. Percaya atau tidak percaya, tapi ini terjadi di sekitar kita. Belum pernah bertemu, hanya bercengkerama lewat media sosial, tapi kita bisa sedekat nadi. Itulah yang kurasakan sekarang. Namanya Eldebra, panggilannya El. Dia satu sahabatku di Instagram. Pria inilah yang selalu menemaniku saat duka dan senang. Pertemanan kami hanya sebatas sahabat, tak lebih dari itu. Kami sudah setahun mengenal. Berawal El menanyakan soal Taiwan. Katanya dia ingin ke sana, tapi tak kunjung pergi. 

Hari bahagia. Akhirnya aku nggak akan dengar kamu galau lagi.
 
:’( :'( Tidak bahagia untukku.

Tenang. Penerawangan saya tentang calon suamimu, dia pria dan ayah yang baik. Tidak berandalan seperti Denis. 

Denis terus, ih! 

Hahahaha, sudah ya, mau tidur. Baru balik kerja. Di Belgia sudah jam dua belas. Lancar-lancar kabarin kalau sudah punya anak ;) 

Eldebraaaa!!! Oke, good night, El. 

Aku menatap layar ponsel, duduk di sisi ranjang kamar hotel, lalu membaca pesan dari El beberapa jam lalu. Pria itu bekerja di Belgia, tetapi nomor WhatsApp tetap area Indonesia. Aneh, tapi begitulah kehidupan agar terlihat berwarna.

Selama hidup, aku hanya memiliki dua sahabat, Yifei dan El. Dua orang itu berhasil membuatku merasa hidup kembali. Kalau El, hingga sekarang aku tidak tahu bagaimana wajahnya. Hanya mengetahui dari suaranya yang lembut. Aku begitu mudah percaya pada orang asing, terutama El. Padahal kalau dipikir-pikir, bisa saja El menipuku. Hati berkata lain, El pria yang baik—bisa menjadi sahabat untukku. 

AC di dalam kamar masih menyala, membantuku agar tak merasa kepanasan. Takut, deg-degan, nervous, ingin menangis—itulah perasaanku sekarang menjelang ijab kabul. Kebaya putih dipadu rok kain batik. Aku meminta riasan pada wajahku tidak terlalu tebal. Untungnya penata rias menyetujui. Pada akhirnya, harapan banjir, angin kencang untuk membatalkan pernikahanku tidak didengar oleh Sang Pencipta. Hari ini, sebentar lagi, aku resmi menjadi seorang istri. 

"Jun.” 

Aku terkejut. Mama masuk lalu mendekatiku. Kamar hotel memiliki dua kartu kunci. Satu untuk menyalakan lampu, satu untuk mengunci pintu dan Mama mengambil alih agar aku tidak kabur.
 
"Kenapa, Ma?" 

"Gagal nikah, Jun. Baskara kabur," ucapnya terdengar parau.

Aku terdiam. Menatap kedua mata Mama, aku memang belum keluar sebelum ijab kabul selesai dan aku justru mendapatkan kejutan menyakitkan—bagaimana bisa Baskara kabur seenaknya? 

"Kok bisa?" 

Mama mendekatiku. "Iya, tapi bohong. Sempat senang kan, kamu dengar Baskara kabur? Biar nggak jadi nikah," jawab Mama dengan nada santai. 

Ya Tuhan. 

Aku tak habis pikir dengan tingkah Mama pagi ini, aku sedang gugup setengah mati lalu dikerjai. Hanya Mama yang bersikap menyebalkan di hari pernikahan anaknya.

"Bisa-bisanya Mama ngerjain Juni, anaknya lagi gugup, nih," Aku menggerutu. 

"Lagian kamu dari pagi mukanya datar mulu. Kata Mbak Siti, pengantin perempuan kaya nggak bahagia.” 

"Emang nggak bahagia," sahutku. 

"Keluar, yuk." 

Mama sepertinya sengaja menarik tanganku, menghindari argumen selanjutnya. Aku berjalan sangat pelan, ditemani Mama dan adikku. Kami melangsungkan pernikahan di hotel tempat Baskara bekerja. Aku tebak pasti pihak hotel yang memberikan bonus pada Baskara. 

Suara tepukan tangan dan senyum manis Baskara bisa kulihat. Atmosfer di ruangan ini mendadak panas, padahal AC menyala. Aku semakin gugup dan rasanya ingin pingsan. 

JuniaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang