•epilog•

496 56 3
                                    

—Daegu, 2023.

Tiga tahun berlalu tanpa terasa. Jasmine dengan rambut panjang sepunggungnya tampak sibuk menyirami Azalea di pekarangan rumah. Rumah sederhana dengan taman dan pekarangan yang luas itu terletak di perumahan jarang penduduk dan masih terjaga keasriannya. Butuh sepuluh menit lebih untuk menuju ke pusat kota.

"Hei, calon pengantin! Kenapa sibuk sekali menyiram sejak tadi?"

Jimin yang muncul dari pintu dapur dengan sepoci teh oolong dan dua gelas kaca di genggamannya lalu duduk di salah satu bangku taman. Gestur tangannya menyuruh Jasmine untuk berhenti dan duduk di sampingnya. Jimin menuangkan teh oolong itu ke gelas Jasmine dengan hati-hati, mengajak gadis itu untuk bersulang setelah kedua gelas terisi penuh. Jasmine tertawa kecil menanggapi ajakan Jimin.

"Terima kasih tehnya, Jim. Ini enak. Kau berbakat jadi pembuat teh," sanjung Jasmine dengan nada bercanda.

"Aku bisa membuatkanmu teh kapan saja. Membuat teh ternyata menyenangkan. Sepertinya aku akan membuat menu varian teh juga untuk kafeku," gumam Jimin sambil mengamati teh yang tinggal setengah di gelasnya.

"Lights berkembang cukup pesat. Mungkin karena kau memilih karyawan yang muda dan good looking. Kau tahu sekali cara menarik konsumen," puji Jasmine setelah meminum beberapa tegukan tehnya.

"Aku juga pernah muda, Jasmine. Poin-poin seperti itu penting untuk keberlangsungan kafe."

"Baiklah, baiklah. Pengangguran sepertiku mana bisa memahami otak pebisnis," sela Jasmine yang memandang Jimin dengan tatapan malas.

Jimin tertawa keras hingga hampir jatuh dari kursi. Jasmine sudah maklum dengan kebiasaan Jimin yang suka oleng tidak tahu tempat saat tertawa, jadi gadis itu hanya melirik singkat dan melanjutkan tegukan terakhir tehnya.

"Pengangguran, tapi akan jadi istri pemilik gedung. Kudengar Taehyung membeli tanah lagi di daerah Gangnam. Apa dia tak takut uang tabungannya habis?"

"Justru aku yang takut melihat banyaknya nol di buku rekeningnya. Warisan kedua orang tuanya tak main-main, Jim. Aku bisa mandi emas dengan semua uang itu," ujar Jasmine pongah.

"Sombongmu melebihi langit ketujuh, Nona. Kapan kalian akan fitting baju?"

"Minggu depan. Taehyung sibuk mengurus berkas-berkas gedung barunya. Kenapa?"

"Aku mau ikut. Bosan tak ada kerjaan. Boleh ya?" bujuk Jimin dengan seulas senyum lebar.

Jasmine mengeluarkan napas berat, kebiasaan Jimin yang suka ikut ini juga sudah dia maklumi. Dia mengangguk sekali sebelum menimpali, "Tapi, temani aku pergi ke makam Jungkook besok. Aku sudah sebulan tidak ke sana. Mengurus pernikahan sungguh membuatku pusing."

"Tentu. Aku juga mau ke sana minggu ini. Jungkook pasti senang mendengar kabar pernikahanmu dan Taehyung. Dia takkan takut menyerahkanmu ke pria lain karena itu Kim Taehyung, sahabatnya sendiri. Aku pun lega karena kau menikah dengan orang yang kukenal baik. Kau harus tahu betapa sulitnya menaklukanmu, Nona. Untungnya Taehyung tipe orang yang tak gampang menyerah dan malah terpacu mendapatkanmu."

"Iya, iya. Aku juga menyetujui itu. Bahkan, saat aku menjauhinya nyaris selama setahun, dia masih gigih mendekatiku." Menatap langit yang berawan, Jasmine mengedip sekali untuk mengembalikan fokusnya yang semula mengelana ke masa lalu. Gadis itu tak pernah menduga bahwa pada akhirnya hati yang telah lama kehilangan pemiliknya itu sudah memiliki nama baru yang bersemayam. Taehyung takkan bisa menggantikan ruang Jungkook dalam hatinya, tapi gadis itu yakin bahwa perasaannya sudah berlabuh pada Taehyung.

"Dulu kukira kau tidak akan tergerak sedikit pun, tapi apa ini? Kalian akan menikah sebulan lagi, mendahului aku yang lebih tua beberapa bulan dari kalian. Jahat sekali," dengus Jimin dengan sorot mata kesal.

"Ada satu kejadian yang membuatku memandang Taehyung dengan berbeda, Jim." Jimin mengalihkan pandangannya ke gadis itu, menyadari bahwa pandangan Jasmine berbinar bak bintang malam. Dia tersenyum tipis dan menyahut, "Taehyung yang mengadopsi Ahrin?"

"Tepat. Aku mengira dia manusia yang tak punya perasaan iba karena sudah membunuh puluhan manusia tanpa sekalipun menangis. Namun, saat tahu bahwa dia mengadopsi Ahrin yang saat itu terkena kanker dan mendapati dia menangis karena Ahrin tak bisa diselamatkan, aku benar-benar berubah dalam melihatnya. Aku sadar bahwa Taehyung juga manusia. Mungkin dia sering sakit hati, tapi dia tahan semua itu sendiri. Sejak saat itu, aku ingin jadi orang yang bisa membaca isi hati Kim Taehyung si pemuda urakan."

"Dia akan menyombongkan diri selama sebulan jika mendengar perkataanmu, Jasmine," balas Jimin yang dihadiahi tawa keduanya.

Tiba-tiba, pintu dapur yang mengarah ke taman terbuka. Taehyung datang dengan wajah kusut sebab seharian penuh mengecek gedung-gedungnya. Dia mendekati Jasmine dan Jimin dengan tatapan ganas. Satu dengusan kesal dia keluarkan sebelum menyisipkan diri di antara Jimin dan Jasmine. Pria itu memeluk lengan Jasmine sebelum menggerutu, "Apa yang kalian bicarakan? Kalian menjelek-jelekanku ya?"

"Wah! Buat apa aku menjelek-jelekanmu tanpa sepengetahuanmu. Aku lebih suka mengataimu di depan, Kim. Dasar baperan!"

"Diam atau kucolok mata sipitmu itu!"

"Dasar tukang body shaming!"

"Tak peduli kalau orang yang kukatai itu kau," balas Taehyung sambil memelengoskan wajah menghadap ke Jasmine.

Taehyung mencuri satu kecupan di pipi Jasmine kala gadis itu sibuk menertawakan dua sahabatnya, membuat Jimin mendorong Taehyung hingga jatuh dari kursi. Makian dan pukulan kecil mereka lemparkan satu sama lain. Jasmine hanya memperhatikan dari duduknya setelah itu menatap ke langit yang mulai berubah jingga.

"Terima kasih, Tuhan. Meskipun kami dipenuhi dosa, Kau masih memberi kehidupan menyenangkan ini. Aku takkan pernah menyesali masa lalu karena itu yang membawaku ke titik ini."—Jasmine

E N D

ɓɭɑck cɑt. [ ɱiɳ yѳѳɳgi ] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang