Dendam dan Luka

44 5 0
                                    

Mereka memang terlihat berbeda, namun sejatinya mereka sama seperti kita. Sama-sama makhluk ciptaan Allah.

Hey, Sister!

Aisha membuka pintu rumah perlahan sambil mengucap salam. Dia memperhatikan seisi rumah sebelum akhirnya masuk ke dalam. Ruang tamu tampak kosong, tidak tampak Hafis dan Baskara yang bermain di sana. Ruang makan juga, tidak ada Ummi Anin yang mencuci piring seperti biasanya.

"Ummi ..." Aisha memanggil ummi-nya dengan suara yang agak keras. Berharap Ummi Anin menyahut panggilannya.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara dari halaman belakang, "Iya, Sha."

Gadis itu mengurungkan niat untuk langsung naik ke atas. Dia memutar tubuhnya dan berjalan menuju tempat Ummi Anin berada. Begitu menemukan sosok ummi-nya, gadis itu langsung menghampiri beliau dan menyalaminya.

"Gimana sekolah, Sha?" tanya Ummi Anin sembari aktivitasnya melanjutkan.

"Ehm, baik, kok, Ummi." Aisha meletakkan tasnya dan membantu Ummi Anin menjemur pakaian-pakaian itu. Dia tidak akan tega membiarkan ummi-nya menjemurnya seorang diri. Apalagi setelah melihat wajah ummi-nya yang basah oleh keringat. Pasti beliau sangat kelelahan. "Hafis dan Baskara di mana, Ummi?"

"Hafis di kamar. Kalau Baskara lagi main sama Aurora di luar," jawab Ummi Anin tanpa menoleh sama sekali.

Aisha termenung sejenak. Berpikir keras ketika mendengar nama Aurora. "Aurora ... anak tetangga kita yang katanya bipolar itu?" tanya gadis itu.

"Iya, kenapa?" Ummi Anin bertanya balik. Merasa ada yang aneh dengan putrinya.

"Ummi gak takut gitu?" Gadis itu menenggak ludah ketika Ummi Anin menatapnya tajam. Merasa amat bersalah karena sudah berbicara demikian.

Rasa takutnya bertambah ketika Ummi Anin mengacungkan telunjuknya di depan wajah Aisha. "Sha, jangan berpikiran kalau mereka yang mengidap mental disorder patut dijauhi. Mereka sama seperti kita. Layak menerima perlakuan seperti kita yang normal. Mereka memang terlihat berbeda, namun sejatinya mereka sama seperti kita. Sama-sama makhluk ciptaan Allah. Apa yang Baskara lakukan itu sudah sangat bagus. Dia mau berteman dengan Aurora di saat semua orang menjauhinya."

Kepala gadis itu menunduk mendengar penuturan Ummi Anin. Dia benar-benar tidak bermaksud untuk merendahkan Aurora. Semua orang tahu dia gadis yang baik. Hanya saja kelainan mentalnya yang membuat orang menjauhinya.

"Maaf, Ummi, Aisha nggak sengaja. Aisha nggak maksud buas rendahin Aurora," tuturnya pelan. Ummi Anin mendesah, lantas kembali melanjutkan aktivitasnya.

Aisha takut-takut melirik ummi-nya. Ada sesuatu yang mau ia tanyakan, tapi dia ragu. Setelah menimang-nimang dalam hati, akhirnya dia memberanikan diri untuk bersuara, "Ehm, Ummi ..."

"Iya, kenapa, Sha?" tanggap Ummi Anin.

Dia menggaruk kepalanya pelan. Bingung mau bicara seperti apa. "Aisha mau nanya ..."

"Nanya apa?"

"Fatih ..." Ucapan Aisha langsung terputus karena Ummi Anin mendecak. Dia langsung bungkam seketika.

"Sudah Ummi bilang, kan, kalau kamu tidak boleh punya hubungan apa-apa lagi dengan Fatih?" desis beliau tajam. Aisha menunduk lagi karena mendengarnya.

"Iya, Ummi ..."

"Ummi gak mau lagi berurusan dengan keluarga mereka. Karena keluarga mereka, Abi kamu kehilangan pekerjaannya. Karena keluarga mereka, kamu hampir dikeluarkan dari sekolah!" Suara Ummi Anin terdengar jelas di telinga Aisha. Setiap kalimat yang dikeluarkan terdengar menusuk. "Dan jangan lupa, karena Fatih kamu di-fitnah oleh satu pesantren!"

Nerasha {COMPLETED}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang