Ini Pasti Hidayah

26 4 0
                                    

Semua orang punya kesempatan untuk berubah.

Hey, Sister!

Rayqa sekali lagi mengusap wajahnya. Dia menatap Aisha nanar, lantas menggenggam tangannya. "Gue pengen berubah jadi lebih baik, Sha. Gue gak main-main. Gue yakin, lo dan Nessa udah punya pandangan buruk tentang gue, bahkan semua orang pasti sudah memandang gue buruk. Tapi kali ini gue serius. Gue pengen hijrah."

Dugaan Nessa tak keliru. Dia merasa kalau dirinya tak bisa membantu banyak sekarang. Secara dia bukan muslim, meski dia tahu sedikit-banyak tentang islam.

Sementara gadis berjilbab tersebut menghela napas. Dia tidak menyangka masalahnya akan serumit ini. Seburuk-buruknya sikap Rayqa, Aisha tak pernah menyangka kalau dia pernah melangkah sejauh itu.

"Qa, aku paham perasaan kamu," ujar Aisha lembut. "Aku juga dengan senang hati akan membimbing kamu untuk hijrah."

"Kita berdua. Gue dan Aisha mau membimbing lo untuk hijrah, meski gue non-muslim." Rayqa perlahan menoleh pada Nessa. Begitu juga dengan Aisha. Dia pikir Nessa ragu untuk berterus terang pada orang lain.

"Lo ... bukannya mama lo pakai jilbab? Bukannya ..."

"Gue percaya lo bakal jaga rahasia ini. Orang lain gak perlu tahu kalau gue beda agama sama orangtua gue. Mereka semua hanya tahu kalau gue beragama konghucu."

Aisha menghela napas. Ada dua masalah di depannya. Rayqa yang ingin menutup masa lalu dan perlahan memperbaiki dirinya. Nessa yang tentu saja tak bisa dibiarkan berbeda agama dengan kedua orangtuanya. Kalau dibiarkan, Nessa pasti mendapat hinaan dari orang lain. Dia sadar kalau dia harus membantu mereka. Bagaimanapun caranya. Tanpa peduli dengan masalahnya yang belum selesai sama sekali.

Nessa melirik sahabatnya itu. Memberi kode kalau dia harus segera bicara perihal ini pada Rayqa. Namun dari wajahnya, Nessa paham kalau dia kurang nyaman membicarakan ini di depannya. "Gue gak apa-apa," lirih Nessa.

Setelah mendapat persetujuan dari Nessa, gadis itu langsung berkata, "Qa, kan, kamu percaya kalau Allah itu ada?"

Seketika pertanyaan Aisha membuat gadis bermata sembab itu terdiam. Dia bungkam sejenak. Membuat Aisha dan Nessa bingung dengan tingkahnya. "Ada apa, Qa?" tanya Aisha heran.

"Gue percaya Allah itu ada, tapi gue merasa Allah nggak adil sama gue," ucap Rayqa dengan suara tercekat.

Mendengar itu,  Aisha tersenyum lembut. "Kenapa kamu bilang kayak gitu?"

"Sha, kalau Allah itu memang adil, gue gak akan kena sial mulu. Gue gak akan sengsara mulu," kata Rayqa tegas. "Gue gak akan pernah terluka kayak gini."

"Allah memberi kamu ujian agar kamu senantiasa ingat pada-Nya. Allah itu maha adil, Qa." Bukan Aisha, tapi Nessa yang mencoba menjelaskannya. "Seperti Allah yang memberi kebahagian agar kita bersyukur pada-Nya. Iya, kan, Sha?"

Aisha mengangguk setuju.

Rayqa merasa malu mendengar penuturan Nessa. Bahkan gadis itu yang jelas-jelas non muslim sepertinya tahu banyak soal islam. Sementara dia yang sejak lahir memeluk agama islam tidak tahu banyak soal itu.

"Lo gak usah malu karena ilmu agama lo belum banyak. Kalau allah sudah memberi kamu hidayah, berarti itu adalah kesempatan lo untuk berubah menjadi muslimah yang lebih baik lagi. Semangat, ya. Kami berdua akan terus mendukung lo," kata Nessa sambil tersenyum tipis.

Satu alasan kenapa Rayqa bisa berniat untuk hijrah dan terpikir betapa kelamnya masa lalu gadis itu adalah Rayyan.

Dia berterima kasih pada laki-laki itu sekaligus menyimpan pertanyaan untuknya.

Kenapa dia sangat peduli padanya? Kenapa harus dia yang telah menghilang beberapa tahun? Bukan Farel yang selama ini menjaganya?

-  Rayqa -

Nessa mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna biru dari dompetnya. Setelah itu dia beralih menatap layar handphone-nya yang menampilkan huruf-huruf dan angka.

"Ma! Mama ngambil uang dari dompet aku lagi, ya?" tanya gadis itu dengan nada kesal. Mendengar seruan putri tunggalnya, Mama Jihan menoleh dan nyengir.

"Buat beli jajanan kamu, kok," jawab wanita tersebut sambil mengarahkan dagu pada lemari makanan.

"Ya, kenapa harus uang aku, Ma?" protes Nessa tak terima.

"Memang kenapa, sih? Kamu juga kenapa, sih, malam-malam ngitung uang?"

"Aku sama Aisha pengen beliin Rayqa gamis dan jilbab, Ma. Dia baru hijrah dan dia cuma punya satu jilbab," jelas Nessa dengan berat hati.

Papa Donny langsung tertarik untuk menimpali, " Wah, keren anak Papa mau bantu temannya hijrah. Beruntung sekali Rayqa punya teman seperti kamu dan Aisha."

"Iyalah. Kan, nurun dari mama-nya," ujar Mama Jihan menyombongkan diri. "Tapi keren banget, ya, dia. Langsung menjemput hidayahnya. Gak mau menunda-nunda. Kayak teman Mama, tuh. Bilang gak mau hijrah karena belum siap, akhlaknya belum bagus, belum ini, belum itu. Terakhir meninggal sepulang dari bar."

"Duh, kasihan banget, ya, Ma," kata Nessa prihatin. Mama Jihan mengangguk lesu.

"Makanya, Sa, dari dulu Mama minta kamu untuk masuk islam. Mama gak mau kamu meninggal dalam keadaan belum memeluk agama islam. Mama takut, Sa ..."

Spontan Nessa menghentikan aktivitasnya. Dia menatap barang-barang di depannya dengan tatapan kosong. Muak mendengar kalimat tersebut keluar lagi dari mulut mama-nya setelah mereka berjanji agar tak mempermasalahkan ini lagi.

"Ma, kayaknya kita udah sepakat untuk gak ngomongin ini. Aku udah memutuskan untuk gak memeluk agama islam. Aku gak masalah Papa dan Mama beragama islam. Bisa gak kita saling menghargai saja?"

Baik Mama Jihan maupun Papa Donny terdiam. Tak ada yang mau bicara. "Pa, Ma, pindah agama itu bukan sekadar berubah keyakinan dan semua bakal baik-baik saja. Kalau memang aku gak mau dan gak punya niat, gak usah dipaksa. Aku tahu yang terbaik untuk hidupku," tegas Nessa.

"Cuma orangtua yang tahu apa yang baik untuk anaknya."

"Tapi seringkali orangtua salah!"

"Masuk kamar, Nessa!"

Gadis itu mengentakkan kaki dan segera membawa smeua barangnya ke atas. Tak lupa setelah itu dia membanting pintu dengan suara yang agak keras. Membuat kedua orangtuanya makin emosi.

Nessa melempar semua barang-barangnya ke atas kasur. Melempar tubuhnya dan menutup wajah menggunakan bantal. Tak lama kemudian, masuk sebuah panggilan ke handphone-nya. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Nessa mengangkat panggilan itu.

"Halo ..."

"Heh, lo, tuh, bener-bener kagak ada akhlak, ya! Orang lagi kesel, lagi marah, lagi emosi, malah lo telepon! Lagi pusing gue ngapain lo pakai telepon gue segala?!" Tanpa aba-aba, Nessa mulai meluapkan kemarahannya pada ornag yang menghubunginya itu.

"Sa, udah gila lo, ya?!"

Nessa mengernyit mendengar suara itu. Dia baru sadar kalau itu suara laki-laki. Gadis itu menjauhkan handphone tersebut dan melirik sekilas ke layar. Tak ada nama di sana, hanya ada nomor tak dikenal.

"Siapa, sih, lo? Sok akrab banget!" sewot Nessa.

"Ini gue, Farel."

Nerasha {COMPLETED}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang