Sudah Terpikir Untuk Hijrah?

24 3 0
                                    

Cantik yang hakiki itu bukan dilihat dari paras atau penampilannya. Tapi dari hati dan akhlaknya.

Hey, Sister!

Rayqa terdiam sebentar. Dia tidak tahu bagaimana mau menjawab pertanyaan tersebut. Rayyan sendiri sama sekali tidak menoleh padanya. Sibuk menendang kerikil yang ada di depan sepatunya seraya menanti jawaban dari Rayyan.

Beberapa saat kemudian, masih tidak terdengar jawaban dari Rayqa. Rayyan kali ini menoleh. Mendapati Rayqa yang masih bungkam dan memasang wajah murung.

Saat itulah dia ingat segalanya.

"Oh, gue paham," katanya dilanjut dengan sebuah senyuman tipis. Baru kali ini Rayyan merasa tidak enak pada gadis itu.

"Lo paham? Jadi ... lo udah tahu?" tanya Rayqa dengan suara tercekat. Pipinya memerah seketika ketika malu yang luar biasa menyeruak ke dalam dirinya.

"Iya, gue udah tahu. Farel yang bilang sama gue. Gak apa-apa, kan?" tanya laki-laki itu lembut. Rayqa menoleh ke arah mantan temannya itu. Tanpa sadar mata mereka sempat beradu sejenak, Rayqa langsung membuang muka.

"Asal lo nggak bilang siapa-siapa, gak apa-apa," tanggapnya dengan suara berat. Rayyan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kembali mengalihkan matanya dan menatap jalanan.

Rayyan tahu betul masalah Rayqa saat itu. Untung saja Farel masih mau mengabarinya. Kalau tidak, Rayyan tidak akan pernah tahu masalah gadis itu. Masalah yang akhirnya membuat gadis itu berubah 180 derajat.

Banyak yang tidak tahu, Rayqa adalah gadis yang baik. Bahkan sepertinya tidak pernah sekalipun terlintas di kepalanya untuk bolos, tidur saat pelajaran, kabur dari sekolah, ataupun tawuran. Dia gadis yang berbeda dengan apa yang dilihat orang lain kini.

Tidak bisa dipungkiri, perubahan drastis pada Rayqa tak jauh dari campur tangan Rayyan dan Farel. Tidak jauh dari kesalahan mereka berdua. Mereka yang tidak mempedulikan Rayqa saat gadis itu terpuruk. Bukannya membantu, mereka malah memperkeruh suasana sehingga Rayqa berlari ke arah yang salah.

"Lo mau ke mana sekarang?" tanya Rayyan. Sekedar memecahkan keheningan.

"Kali Ciliwung."

Rayyan tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Rayqa. Terlebih ketika melihat wajah merengut gadis itu.

"Mau berenang lo di sana? Ceileh ... berenang, mah, di kolam bukan di kali, Mbah!" sahut Rayyan sambil terkekeh. Rayqa hanya berdeham, malas menanggapi candaan laki-laki itu.

"Kira-kira kalau bisa gak, ya, bunuh diri di sana?" Seketika Rayyan terdiam mendengar kalimat itu. Dia melirik ke arah Rayqa yang menatap jalannan dengan tatapan kosong. "Terus, kalau bunuh diri di sana, bakal ada yang nemuin jasad gue gak, ya?"

Dia menenggak ludah. Rayyan mulai menyadari kalau Rayqa serius dengan ucapannya. "Lo kalau mau bercanda, yang lucu kek. Jangan yang bikin orang takut."

"Siapa bilang gue bercanda?" balas Rayqa dengan nada sengit.

"Oh, lo nggak bercanda? Memangnya lo nggak tahu dosa bunuh diri itu sebesar apa?"

"Memang bunuh diri itu dosa?" tanya Rayqa polos.

Sontak Rayyan menepuk jidatnya. "Ya, iyalah, Mak Lampir. Gak pernah ngaji, sih, lu. Bunuh diri adalah dosa karena hanya Allah SWT-lah yang berhak mengambil kehidupan yang telah Dia berikan. Ada hadist riwayat Bukhari nomor 5578 dan hadist riwayat muslim nomor 109 yang berbunyi, 'Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan besi, maka besi itu kelak akan berada di tangannya dan akan dia gunakan untuk menikam perutnya sendiri di dalam neraka Jahannam, kekal di sana selama-lamanya. Barangsiapa bunuh diri dengan minum racun, maka kelak ia akan meminumnya sedikit-demi sedikit di dalam neraka Jahannam, kekal di sana selama-lamanya. Barangsiapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari atas gunung, maka dia akan dijatuhkan dari tempat yang tinggi di dalam neraka Jahannam, kekal di sana selama-selamanya' ," jelas Rayyan secara rinci.

Mendengar itu, Rayqa bergidik. Selama ini dia selalu ingin mengakhiri hidupnya karena marah dan kecewa pada orang-orang di sekitarnya. Namun setelah mendengar penjelasan Rayyan, dia malah takut untuk bunuh diri.

"Lo pengen bunuh diri, karena lo takut kejadian itu bakal terulang lagi, kan?" tanya Rayyan skeptis. Rayqa menunduk, malu membahasnya. "Itu gak bakal terjadi kalau lo mau melindungi diri lo sendiri, Qa."

"Maksudnya?" tanya Rayqa balik.

Rayyan berdeham. "Lo pernah lihat Aisha digangguin cowok?" tanya Rayyan.

"Nggak. Gue lihat anak cowok pada segan sama dia. Kenapa memang?"

"Lo tahu nggak, kenapa mereka segan sama Aisha?"

"Ya, kagak. Makanya bilang sama gue," ucap Rayqa tidak sabaran.

"Karena Aisha menjaga auratnya, Qa. Dia juga gak pernah make up-an, dan gue yakin kalau pun dia pakai make up, nggak bakal berlebihan kayak Natasha. Mereka juga segan, kan, sama anak-anak rohis yang cewek?" 

"Tapi banyak, kok, cewek di sekolah yang pakai jilbab, tapi nggak cowk yang segan sama mereka. Kelakuan mereka sebelas dua belas sama gue. Gak tau malu banget. Bahkan lebih parah daripada gue. Kalau kayak gitu, buat apa coba pakai jilbab? Ya, kan?" kilah Rayqa mantap.

"Nah, di situ perbedaannya, Qa. Mereka pakai jilbab, tapi lo lihat sendiri, kan, kelakuannya gimana? Tapi, Qa, akhlak dan menutup aurat adalah dua hal yang berbeda. Jangan saling dikaitkan. Karena kalian, wanita, gak perlu menunggu akhlak kalian bagus baru menutup aurat. Tapi tutuplah aurat, maka akan senantiasa ingat untuk memperbaiki akhlak." Rayqa tertegun mendengarnya. "Lo denger, kan, yang gue bilang?"

Gadis itu mengangguk mantap. Dia masih berusaha untuk mencerna rentetan kalimat tadi dengan baik. "Lo kesambet apa, sih, sampai bisa kayak gini?"

"Kesambet setan baik yang rajin menabung."

Rayqa tersenyum mendengarnya, namun lama-lama dia tertawa pelan. Tidak sadar sama sekali kalau Rayyan tengah memperhatikannya. "Tapi, kalau gue diejek sama Gladys gimana?"

"Lo takut dibilang jelek sama mereka? Eh, Qa, denger, ya, cantik yang hakiki itu bukan dilihat dari paras atau penampilannya. Tapi dari hati dan akhlaknya."

Rayyan mengangkat tangannya dan memperhatikan handphone yang ia pegang. Dia tampak mengetikkan sesuatu di sana dan memasukkannya ke saku. "Gue cabut duluan, ya. Assalamu'alaikum."

Bersamaan dengan kepergian Rayyan, gadis itu patah-patah mencoba untuk menjawab salamnya. Untuk pertama kali setelah sekian tahun, dia bisa mengucapkan kalimat itu, "Wa'alaikumussalam."

Dia mengambil handphone-nya yang kalau tidak salah berbunyi tadi. Matanya menangkap sebuah pesan yang baru saja masuk.

Rayyan
Setelah dengar penjelasan gue, sudah terpikir untuk hijrah?

- Nessa -

"Yakin mau kerja di sini?" tanya seorang wanita dengan raut wajah ragu. Untuk kesekian kalinya dia memperhatikan gadis berjilbab di depannya. Ditilik dari seragam yang ia kenakan, gadis ini masih SMA. Persisnya dia tidak tahu kelas berapa.

"Iya, Mbak. Saya yakin," ujar Aisha mantap. 

"Baiklah, mulai besok kamu sudah bisa kerja di sini. Apa orangtua kamu tahu?"

Kali ini Aisha terdiam. Bohong, jujur, bohong, jujur, huft ...

"Iya, orangtua saya tahu, Mbak."

Mbak Farah, pemilik kafe tersebut, mengangguk senang. Beliau memang sedang membutuhkan karyawan baru  saat ini. Tentu beliau akan menerima Aisha  dengan suka hati.

"Kalau begitu, saya pulang dulu, ya, Mbak. Besok setelah pulang sekolah, insya allah, saya balik lagi," kata Aisha dengan perasaan lega. Mbak Farah mengangguk dan mempersilakan Aisha pulang.

Gadis itu keluar dari kafe. Dia menarik napas lega. Senyumnya mengembang. Akhirnya dia bisa membantu keluarganya.

Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke handphone-nya. Aisha melirik sekilas dan langsung memasukkan benda itu ke tasnya lagi. Dia gelisah setelah membaca pesan itu.

Gue pengen ketemuan, Sha. Gue gak tau mau gimana lagi.

Hey, Sister

Nerasha {COMPLETED}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang