Bagian 14. Terjebak Rasa

57 30 20
                                    

Sebelum membaca harap sudah melakukan ibadah wajib ya. Jangan jadikan membaca ini membuat teman-teman menunda salat atau ibadah wajib tersebut.
Terimakasih.... 😊

Selamat membaca semuanya 💬

"Jika pun seseorang diberi pilihan antara harus menghargai orang lain atau sekedar menuruti ego, apakah hati dan fikiranmu memilih yang tepat dan terbaik?"

---------------------••PENCARI••--------------------

🌸🌸🌸

AUTHOR POV

"Begini, masalah ini Saya serahkan sama anak Saya saja, Ira. Karena dia yang akan menjalani ke depannya. Saya InsyaAllah menyetujui. Bagaimana Nak, kamu mau menerima khitbah dari Nak Rizky?" Tanya Ayah yang membuat Ira kelimpungan tidak tahu harus bagaimana. Pasalnya dia tidak merancanakan untuk menikah di awal kuliah ini. Karena Ira ingin fokus kuliah dan menjalin relasi untuk masa depannya kelak. Serta dia pun masih belum selesai menyusun teka-teki yang hilang dalam hidupnya sekarang.

"Gimana Nak?" Tanya kembali dari ibu kepada Ira yang masih termenung.

"Em... Aku belum bisa Bu. Masih perlu berpikir dulu." Jawab Ira dengan terbata-bata dan baru menyadarkan kembali raga dan jiwanya.

"Baiklah kalau gitu Nak. Kamu fokus dulu sama penyembuhanmu, soal ini biar hari setelahnya saja tapi tetap harus segera diutarakan bagaimana penjelasannya." Tutur ayah Ira dengan bijak.

"Nak, lebih baik urusan ini kita lanjutkan besok saja ya. Mungkin Ira perlu ketenangan supaya bisa mencerna hal ini lebih dalam, bukan hanya sekedar iya atau tidak." Lanjut ayah.

"Baiklah Pak. Besok Saya akan kembali untuk menemui keluarga Bapak menanyakan berita ini. Tetapi kemungkinan besok hanya Saya yang datang. Orang tua masih ada kepentingan." Ucap Kak Rizky dengan begitu sopan kepada ayah Ira.

🍂🍂🍂

Sehari selanjutnya. Di taman rumah sakit yang begitu asri, terduduk dan melamun. Ira belum tahu. Dia ragu. Harus menjawab bagaimana. Disatu sisi dia belum siap, tetapi sisi lainnya dia begitu ingin menghargai seorang lelaki yang saleh dengan berani datang mengkhitbahnya. Bukankah tidak pantas menolak lamaran atau khitbah dari lelaki yang jelas sudah saleh?

"Doorrrr!" Teriakan Cita membuyarkan lamunannya. Seketika itu, dengan cepat Ira kembali sadar dan meninggalkan pikiran-pikiran yang membuatnya pusing.

"Kenapa nih, masih belum pulih udah ke luar aja?" Selidik Cita sejurus selanjutnya menatap lekat manik mata Ira yang begitu jelas khawatir.

"Gak papa. Lagi pengen udara seger. Bosen baunya wewangian obat-obatan." Jawab Ira sambil mengedikkan bahunya dan menggerakkan ke atas kedua alisnya.

"Udah makan?" Kembali Cita bertanya. Kali ini memang recehan tapi penuh perhatian.

"Udah, kamu?" Ira bertanya balik.

"Lah gimana dong?" Cita malah kembali bertanya, kali ini justru dia bercanda mungkin untuk membuat Ira sedikit tertawa.

"Hahaha... Bisa-bisanya ya kamu Cit. Ah, udah lah." Akhirnya, sesuai keinginan Cita. Ira tertawa lepas mendengar sebaris kalimat yang membuat Ira benar-benar geli, hingga tertawa lepas. Namun tidak kelepasan.

About Memories [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang