3. Tersesat yang menyenangkan.

153 36 25
                                    

Hanya perlu beberapa menit untuk kami sampai di onne sait jamais Caffe Seoul. Rupanya Dio membawaku kesini. Aku sempat heran kepadanya, dia seperti sudah hafal betul daerah-daerah disini. Atau aku saja yang tidak tahu kalau dia sering ke Korea untuk berkunjung kecabang perusahaannya sambil keliling kota.

Sembari menikmati Cappuccino panas yang dipesan Dio untukku. Aku sempat mengulang lagi saat-saat di Bandung bersamanya. Dia sering sekali memberiku secangkir cappuccino panas. Dan tak lupa, dulu dia tidak pernah memesan coffe panas. Katanya asapnya akan mengembun dikacamatanya. Dan sekarang tidak lagi, dia lebih memilih espresso panas untuk menghangatkan tubuhnya tanpa terhalang benda berkaca itu.

"Kamu sudah seperti orang korea asli Lan." Celetuk Dio membuyarkan lamunanku.

"Apa perawatanku berhasil merubahnya." Jawabku yang mengundang tawanya.

"Yang penting bukan operasi."

"Sayangnya uangku yang tidak memenuhi untuk oparasi." Dio hanya tertawa menanggapiku.

"Ehm... Lan, ibu sudah menyampaikan pesan padamu?"
Sejenak aku terdiam mengingat pembicaraan aku dengan ibuku ditelepon minggu lalu.

"Nak Dio datang lagi ke ibu. Karena ibu bilang belum ada jawaban dari Alana."

"Aku tidak mau cari masalah dengan ibunya lagi bu, kalau tahu aku bekerja di perusahaan Dio."

"Gajiku di Cafe. Cukup untuk memenuhi kebutuhanku. Bahkan transfer ke rumah."

"Ibu tahu. Yang terpenting, jangan ikut memusuhi nak Dio. Dia tidak punya salah sama kita."

"Aku tahu."

Aku hanya bisa menunduk memandangi segelas cappuccino ku tanpa menjawab pertanyaannya.

"Bisakah kau mau memaafkan perlakuan ibuku waktu itu Lan." Aku sedikit trenyuh mendengar ucapannya barusan.
Sekali lagi aku hanya bisa diam.

"Lan. Aku tahu luka kasat mata lebih lama kering dibanding luka fisik yang terlihat. Tapi bisakah, demi aku."

"Aku sudah lama memafkannya. Tapi untuk hal itu, aku belum bisa Di. Maaf."

Dio bangun dari sendernya. "Tidak apa. Tapi kalau kau ingin, datang saja lan."
Aku hanya memberikan senyuman kepada Dio.

"Dunia sempit sekali ya Di?" Pekikku.
Dio tersenyum mendengar penuturanku.

"Aku harus berterimakasih pada Sky. Kalau tidak karena dia, kita tidak akan bertemu." Berterimakasih? Kalau Dio tahu Sky selalu Menggunjing atasannya. Kurasa Dio akan mendepak Sky dari perusahannya, mengingat Sky selalu mengatai Dio simuka datar seperti Jennie kepadaku.

"Satu minggu lalu, aku dapat Direct message dari Bayu katanya dia mau menikah Di. Kau datang?"

"Sepertinya tidak Lan, ayahku memintaku mengurus perusahaan disini."

"Jahat sekali, sahabat begitu. Jadi ingat waktu dulu dia dihukum dilapangan sama kamu karena berisik ketika kelas ms. Eliza."

"Iya gara-gara kecoa."
Aku selalu tertawa mengingat kejadian dulu. Ketika wajah Dio dan Bayu memerah karena ditertawai orang sekampus ketika dihukum dilapangan basket sembari menari.

Selanjutnya kami hanya bercerita mengenai masa-masa ketika kuliah. Sempat mengenang masa lalu. Rasanya rindu, tapi tidak harus kembali.

🍁🍁🍁🍁

Pantai Haundae Busan.

Terik matahari seolah membakar semua manusia yang ada disini. Entah kenapa aku sangat membenci panas, namun aku suka pantai yang selalu dominan dengan panas-panasan. Aku dan Jennie berlari dari kejaran sang ombak. Berlari sambil tertawa, melepas lelah setelah beberapa jam perjalanan.
Sedari tadi, aku sama sekali tidak melihat Sky. Apa dia takut dengan panas? Takut membuat kulitnya lebih gelap lagi.
"Dimana Sky je?"

Come THRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang