Hari yang cerah, matahari bersinar terang dengan gumpalan putih yang menghiasinya. Orang-orang memulai aktivitas, ada yang berkerja, sekolah, bahkan ada yang masih setia dengan kasur bersama gulingnya.
Namun, berbeda dengan Sheryl. Setelah memastikan Lucy dan Jimmy berangkat kerja, dia langsung bersiap-siap lalu pergi ke rumah Wendy.
Hanya dengan menempuh waktu sepuluh menit, akhirnya Sheryl sampai di sebuah bangunan cukup besar dan mewah dengan nuansa putih.
Perempuan itu memnawa tungkainya ke teras rumah, kemudian mengetuk pintu. Ia tidak sadar jika di sebelah pintu terdapat sebuah bel.
Tok! Tok! Tok!
Tak lama kemudian, pintu terbuka dan muncullah sosok wanita paruh baya dengan baju ala asisten rumah tangga.
"Eh, Nona Sheryl. Ada apa ya?" tanya wanita itu yang sering disapa Bibi Nam.
"Wendy ada?"
"Ada, masuk saja. Nona Wendy ada di dalam kamarnya," jawab Bibi Nam.
"Saya masuk dulu, ya. Terima kasih banyak, Bi."
"Iya, sama-sama."
Sheryl berjalan menuju kamar Wendy yang ada di lantai dua, sementara Bibi Nam kembali menuju dapur untuk memasak.
Sesampainya di depan kamar, belum sempat Sheryl mengetuk pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka.
"Eh! Baru saja aku mau menelponmu, Sher," kata Wendy memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
Sheryl tersenyum. "Percuma juga kau menelpon, baterai ponselku habis dan aku belum sempat mengisinya."
"Ya sudah, kita ke kamar saja, yuk!" ajak Wendy.
Mereka berdua masuk kamar, tak lupa pula menutup pintu.
Sheryl mendaratkan diri di atas karpet lembut berwarna biru muda, warna kesukaan Wendy. Sedang Wendy mengambil laptopnya yang berada di meja belajar.
"Wen ...," panggil Sheryl pelan.
"Apa?" sahut Wendy yang masih mengutak-atik laptopnya, dia mencari data kumpulan film yang dia simpan.
"Ada obat merah?"
Pertanyaan itu langsung mengundang perhatian Wendy. Dia menghentikan kegiatan mencari data, lalu menatap Sheryl heran.
"Jangan bilang kau ...."
"Iya, dia melakukannya lagi. Bahkan lebih sakit." Sheryl sedikit merinding mengingat kejadian semalam, saat Lucy memainkan rotannya di punggung Sheryl yang sukses menghasilkan beberapa luka memar dan gores.
Wendy berdiri lalu mengambil obat merah dan salep yang ada di kotak P3K miliknya. Dia juga mengambil beberapa kapas.
"Aish! Aku sangat membenci monster itu! Berani sekali dia menyiksamu," desis Wendy, "seandainya aku seorang polisi, sudah kupastikan dia akan kutangkap dan aku masukkan ke dalam penjara untuk selamanya!" lanjutnya.
"Memangnya kau berani?" tanya Sheryl yang langsung direspon gelengan kepala.
Wendy mencoba membantu Sheryl untuk mengobati lukanya, dia tahu sahabatnya itu pasti kesulitan karena area lukanya ada di punggung.
"Kemarilah, biar aku saja yang mengobatimu."
Sheryl pun duduk membelakangi Wendy, dan sedikit membuka bajunya di bagian belakang agar sahabatnya mudah untuk mengobatinya.
"Astaga! Banyak sekali lukamu!" seru Wendy terkejut sambil menutup mulut, dia tidak sadar kalau di tangannya ada obat merah yang sudah terbuka dan hampir saja menetes ke dalam mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] EPIPHYTE ✔
General Fiction[Judul sebelumnya : PARASITE] Dengan kasar, Sheryl mengusap air matanya. "Jika ini memang keinginanmu, baiklah ... aku menerimanya. Aku memang tidak pantas dimiliki, aku ini sebuah parasit yang hanya merugikan orang lain." "CK! PERGILAH! AKU JIJIK M...