[E] 0.1 : ECCEDENTESIAST

879 104 73
                                    

Seorang perempuan berbaring di bawah pohon rindang sambil menutup matanya menggunakan lengan, melepas penat setelah lima jam penuh bekerja tanpa istirahat. Ya, bekerja sebagai tukang kebersihan di salah satu universitas Korea Selatan.

"Masih ada waktu dua jam," gumamnya sambil melirik arloji hitam yang sangat kontras dengan kulit putihnya.

"Memangnya kau mau ke mana?" tanya Wendy tanpa mengalihkan pandangannya dari buku psikologi yang dia baca.

"Pulang."

Sheryl merubah posisinya menjadi duduk, lalu bersandar ke batang pohon. Dia menengadah menatap langit biru yang cerah, sayangnya ... hatinya tidak secerah langit.

"Mama tidak akan membiarkanku pulang terlambat," ucap Sheryl. "Dia akan memberiku hadiah jika aku melakukan hal itu."

Wendy tersenyum kecut, dia paham betul apa maksud hadiah yang dikatakan Sheryl.

"Maafkan aku," lirih Wendy menutup buku psikologinya yang berjudul Trauma and Recovery : The Aftermath of Violence karya Judith Herman.

Sheryl menoleh. "Maaf kenapa?"

"Aku tidak bisa membantumu untuk lari dari mereka."

"Kau tidak salah, jadi tidak perlu minta maaf," ucap Sheryl sambil menatap Wendy, "lagi pula dengan menjadi pendengar dan sahabat saja itu sudah cukup bagiku."

Wendy tidak bisa berkata-kata lagi, Sheryl sangat tangguh dari yang dia kira. Padahal perempuan itu selalu mendapat cobaan yang bisa dibilang melewati batas, tapi dia tetap bisa tersenyum kepada orang lain. Wendy tidak tahu harus bagaimana jika dirinya yang berada di posisi Sheryl, mungkin dia sudah ada di alam yang berbeda sekarang.

"Aku salut padamu, kau sahabatku yang sangat kuat," kata Wendy sambil menggenggam tangan Sheryl.

Tiba-tiba suara klakson berbunyi. Sepasang sahabat itu menatap mobil sedan hitam yang berhenti di pinggir jalan. Seorang pria tinggi keluar dari dalam mobil dengan wajah datar, lalu menghampiri mereka berdua.

"Ayo pulang," ucapnya datar sambil menatap Wendy.

Perempuan asal Kanada itu pun segera memasukkan bukunya ke dalam tas. "I-Iya."

Sheryl menatap bingung sahabatnya. Pasalnya dia tidak kenal pria ini, dan Wendy tidak pernah bercerita tentang pria tinggi yang menjemputnya.

"Eum ... Wen, dia siapa?" tanya Sheryl berbisik.

"Di--"

"Aku Richard, tunangan Wendy," potong pria tinggi itu datar. Dia bisa mendengar ucapan Sheryl, padahal gadis itu berbisik sangat pelan.

Sheryl melotot. Tunangan? Sejak kapan? Kenapa Wendy tidak bercerita kepadanya? Ini benar-benar mengejutkan, pasalnya Sheryl sangat tahu bagaimana sifat Wendy. Perempuan bermarga Son itu sangat jarang berinteraksi dengan pria lain, bahkan dia tidak pernah memiliki teman laki-laki.

"Aku pulang dulu, Sher. Bye!"

Setelah mereka berdua pergi, tak lama kemudian Sheryl mendapat sebuah notifikasi pesan.

WendySon:
Maafkan aku tidak memberitahumu sebelumnya. Dia tunanganku, dan ceritanya sangat panjang. Akan kuceritakan saat kita bertemu nanti.

Jari-jemari Sheryl dengan lihai mengetik balasan pesan dari Wendy.

SherylKang:
Tidak apa, aku hanya terkejut tadi. By the way dia sangat dingin, dan aku sedikit takut padanya.

Setelah mengirim balasan kepada sahabatnya, Sheryl berdiri lalu melangkahkan kakinya menuju rumah. Lebih baik sekarang dia pulang lebih awal.

🅔🅟🅘🅟🅗🅨🅣🅔

[1] EPIPHYTE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang